Nirwansyah Putra
~ indhie
UNTUK menemukan kesimpulan bahwa alam semesta mempunyai awal dan akhir, Stephen Hawking yang wafat pada 14 Maret 2018, harus melewati perjalanan ilmiah yang begitu panjang. Dia tidak yakin begitu saja pada kepercayaan ilmiah “tradisional”. Meski, kebenaran ilmiah itu ditulis peneliti Barat, Isaac Newton lalu Albert Einstein.
Melihat Hawking adalah menatap sebuah pengetahuan yang berkumpul-kumpul, dari yang benar dan yang salah. Tidak cuma ada nama besar seperti Newton dan Einstein semata. Pengetahuan yang benar secara sains, dikuliti ulang, diperdalam, dikembangkan, sampai menemui titik di mana si peneliti mencapai batas-batas kemampuan dirinya. Pengetahuan yang salah tentu saja kian menumbuhkan hasrat pertanyaan yang sedemikian besar: “lalu bagaimana yang benar itu?”
Berapa lama kaum fisikiawan teoritis memegang hukum-hukum Newton dan masyarakat menyebutnya sebagai kebenaran yang meyakinkan? Begitu lama. Lalu, Einstein datang dan orang-orang terpesona. Berapa lama teori Einstein dipegang teguh? Sangat lama. Lantas, Hawking mengemuka dan orang-orang terkesima. Dia juga melangkah dari pendahulunya; ada ambisi memecahkan segalanya dalam sebuah persamaan, sebuah theory of everything.
Lambat laun, apa yang disebut “benar” itu menjadi pertanyaan dan gugatan tersendiri. Benarkah apa yang disebut dengan “benar” itu? Apa itu “benar”?
Lalu, entah mengapa ketiganya –Newton-Einstein-Hawking– juga berkomentar soal “tuhan”. Newton berpendapat, Tuhan adalah pencipta yang mahir, melakukan intervensi terhadap alam semesta meski tak secara langsung.
Einstein, seorang yang dididik dalam agama Yahudi sejak kecil, namun pernah mengikuti sekolah-sekolah Katolik di Munich, Jerman, mengaku dirinya penganut Agnostik: tuhan ada tapi wujudnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.
Dan Hawking? Dia pernah mengaku seorang atheis. “Sebelum kita memahami sains, adalah alamiah untuk meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta. Tapi kini, sains sudah menawarkan penjelaskan yang lebih meyakinkan. Apa yang aku maksud dengan ‘kita akan mengetahui pikiran Tuhan’ adalah, kita akan mengetahui apapun yang diketahui Tuhan, jika Tuhan itu ada, yang sebenarnya Dia tidak ada. Saya seorang atheis,” katanya dalam sebuah wawancara dengan wartawan media el Mundo dari Spanyol.
Untuk soal ini, Hawking sebenarnya bukan orang yang pertama dan sendirian di dunia sains barat yang tak percaya dengan Tuhan. Karena itu, adalah tak menarik bila ada keinginan untuk menggugat apa yang diyakininya ini. Sejarah manusia memerlihatkan pencarian dan menjawab soal ini, apakah dari kaum religi maupun sains.
Mungkin pula, karena pertanyaan itu diajukan terus kepada dirinya, apakah dari kaum sains, religi maupun awam, dia pun menjawab seperti apa yang ingin diinginkan oleh si penanya. Jika si penanya ingin ada jawaban soal ketiadaan tuhan, maka dia menjawab mungkin ada. Jika si penanya meragukan eksistensi tuhan, dia pun akan menjawab dia adalah seorang atheis. “Setiap kita bebas untuk meyakini apa yang kita mau, dan penjelasan yang paling sederhana soal ini adalah tuhan itu tidak ada,” katanya dalam wawancara dengan Discovery Channel.
Tentu saja saya harus menduga-duga asumsi di atas. Apalagi, suara Hawking dalam wawancara itu dilantunkan oleh komputer. Komputer mempunyai perhitungan manusiawi; ucapannya datar saja, sekedar kognitif. Tak nampak emosi di situ.
Tapi, adalah menarik ketika Kerajaan Inggris (dan telah disetujui keluarganya) memakamkan Hawking di Gereja Westminster Abbey, London, di samping Isaac Newton dan Charles Darwin. Tentu, kita tak perlu menduga bagaimana kepercayaan gereja tersebut terhadap tuhan. (*)
One thought on “Soal tuhan…”