KULI adalah orang kecil yang dikecilkan. Omnibus Law diprotes jutaan buruh kuli. Bukankah aneh: peraturan itu –konon— untuk “cipta kerja”, lalu mengapa para pekerja protes? Itu paradoks luar biasa. Jangankan didengar, mereka bahkan dianggap tak membaca dan tak mengerti. Para elit seperti dikomando untuk berkampanye: protes terjadi karena UU itu tidak dibaca. Mereka yang sudah membaca pun masih dipertanyakan: membacanya tidak betul, tidak teliti.
Kaum buruh kuli telah menerima pukulan bertubi-tubi: sudahlah kecil, tak punya kuasa, dan kini dianggap pula mereka tak membaca.
Tak membaca itu gendangnya dua: tak bisa dan tak mau membaca. Kalau Anda menganggapnya tak bisa membaca, maka Anda sudah menganggap para buruh kuli buta huruf dan bodoh. Kalau Anda mengira buruh tak mau membaca, maka Anda sudah menganggap kaum buruh malas membaca, tak peduli soal “niat baik” UU itu dan hanya ingin demo protes saja.
Anda, ya Anda, telah menunjukkan syahwat kekuasaan yang begitu menjijikkan. Anda telah menghukum kaum kecil yang dikecilkan ini, dengan pukulan yang terus-menerus, telak hingga tersungkur. Ketika dia tersungkur, Anda masih saja memukulinya hingga babak belur. Ketika dia babak belur, Anda masih memukulinya lagi hingga dia sekarat. Ketika dia sekarat barulah Anda menghentikan pukulan Anda dan membawanya ke rumah sakit.
Apakah Anda menyesal atau menunjukkan rasa manusiawi? Tidak. Karena kalau buruh kuli tidak ada, maka tidak akan ada yang bekerja kepada Anda. Tidak ada pula yang akan membeli barang-barang Anda. Tidak ada pula yang akan memilih Anda saat Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada. Karena kalau mereka tidak eksis, maka tidak ada lagi yang akan Anda pukuli. Mereka Anda butuhkan untuk eksistensi, untuk kekuasaan Anda.
Dan sekarang, tinggallah para buruh kuli itu menikmati sisa-sisa kenikmatan hidup mereka. Dia termenung sendirian karena keluarga dan agama yang menjadi benteng terakhir kenikmatan dan ketidakberdayaan mereka, juga dihabisi. Mereka resah karena tawa suami-istri serta anak-anak mereka, kalaupun ada, jangan-jangan hanya terjadi sekarang saja. Dia tak tahu, apakah nantinya tawa canda dan harapan di keluarga mereka masih ada atau tidak di masa depan. Dia menyerah, tak sanggup memikirkan itu.
Dia lalu membayangkan kehidupan surgawi yang bertingkat-tingkat itu. Dia tak berharap untuk mendapatkan surga tertinggi. Sungguh, dia telah rela. Dia hanya ingin masuk surga. Tapi, sekelompok lain rupanya dengan bangga bercerita kalau banyak orang beragama tak mengerti agamanya, banyak yang hanya mengharap surga, tok. Agama fanatik, radikal, beragama tapi tak berilmu, agama tak berkemajuan, dan seterusnya, dan seterusnya. Ada pula yang mengatakan, agama hanyalah candu-candu yang memabukkan. Oh, Tuhan, bagaimana mungkin kami orang-orang kecil ini Anda suruh berpikir laksana profesor, berperilaku seperti sufi?
Dia terduduk dalam kesuraman yang berkelebat dalam pikirannya, sendirian. Menyalakan dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap tembakau itu membawanya ke ekstase kesenangan, meresapi kenikmatan duniawinya yang terakhir itu setelah lelah berkerja. Namun kini, kenikmatan terakhir itupun direnggut pula dengan kejam.
Buruh kuli itu dianggap bersalah. Puntung rokoknya telah dituduh membakar gedung kekuasaan. Dia terkesiap, ketakutan. Siapa pula yang bisa melawan kekuasaan, tangan besi, dan hukum-hukumnya? Orang-orang pun menganggap si buruh kuli tak tahu aturan, membuang puntung sembarangan, mau enaknya sendiri, tak berpendidikan, dan seterusnya. Dalam segala kesusahannya, dalam bayang-bayang penjara yang bakal mengurungnya, kini dia harus menerima pula ejekan dan hujatan. Dia pun harus menghabiskan hidupnya dalam rasa bersalah yang menghantui dan berketerusan.
Segala kenikmatan telah dibunuh. Tak ada lagi nikmat yang harus didustakan. (*)
Nirwansyah Putra
~ indhie