MPR RI dan F-Hukum UMSU Diskusikan Cara Pelantikan dan Pemberhentian Presiden – indhie.com

MPR RI dan F-Hukum UMSU Diskusikan Cara Pelantikan dan Pemberhentian Presiden

Kewenangan MPR RI perlu ditambah.
Dekan Dr Faisal SH beserta pakar hukum dari FH UMSU beserta anggota MPR RI di antaranya Djarot Syaiful Hidayat usai FGD di Hotel Santika, Medan, Selasa 30 Mei 2023. [foto: dok umsu]

MEDAN | Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU) menggelar Focus Group Discussion (FGD) “Tata Cara Pelantikan dan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden” di Hotel Santika Medan, Selasa (30/5/2022).

Dari MPR narasumber yaitu Drs H Djarot Saiful Hidayat MS, H Mustafa Kamal SS, H Dedi Wahidi SPd dan Moh Haerul Amri SP beserta Staf Ahlinya. Sedangkan dari Fakultas Hukum UMSU hadir Dekan Dr Faisal SH MHum, Dr Zainuddin SH MH, Dr Eka NAM Sihombing SH MH, Benito Asdhie Kodiyat SH MH dan Andryan SH MH.

Dekan FH UMSU Dr Faisal SH MHum mengatakan, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi Negara menjadi penting untuk didiskusikan dalam hal menyikapi perkembangan dan kemajuan negara saat ini. “Terkait dengan pelantikan Presiden, idealnya harus ada mekanisme dengan muatan yang jelas,” ujar Faisal.

Sementara itu, anggota MPR Djarot Saiful Hidayat menyebutkan pasca Amandemen UUD 1945, harus disadari bahwa sistem ketatanegaraan harus dibenahi, MPR harus ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara karena MPR merupakan bagian dari representatif rakyat. “Terkait dengan pelantikan presiden, sebenarnya sudah ada di dalam konstitusi kita, namun dalam praktiknya kewenangan tersebut tidak terlaksana sesuai amanah konstitusi, saat ini yang ada hanya surat keputusan KPU terkait dengan penetapan pemenang pilpres,” kata dia.



Sementara itu Dr Zainuddin SH MH menyampaikan, DPR, Gubernur dan Walikota dilantik dan memilki SK Pelantikan. Menurut Zainuddin, perbedaan yang sangat signifikan terjadi terhadap UUD 1945 sebelum dan setelah diamademen terkait dengan masa jabatan presiden, hal itu merupakan salah satu dari alasan mengapa UUD 1945 diamandemen.

Zainuddin mengungkapkan, kewenangan MPR terkait dengan pelantikan presiden idealnya harus dikembalikan. Ia merekomendasikan beberapa hal di antaranya; perlu adanya penambahan kewenangan MPR sebagai bentuk konsekuensi dari kewenangan melantik presiden dan wakil presiden dalam menjalankan tugas.

“Kemudian harus ada kepastian hukum terkait pemberhentian presiden oleh MPR atas usul DPR paling lambat 30 hari. Dalam hal tata cara pemilihan dan pelantikan presiden dan wapres yang keduanya berhenti secara bersamaan,” kata dia.

Di sisi lain Dr Eka NAM Sihombing berpendapat, ketika berbicara masalah ketatanegaraan, bahwa selama ini sering sekali ada pemisahan antara hukum tata negara dengan hukum adminsitrasi negara. “Hemat saya hal tersebut tidak bisa dispisahkan,” tegasnya.

Lebih lanjut Eka NAM Sihombing menyampaikan pasca amandemen rumusan UUD adalah MPR melantik dan mengangkat presiden. Dikatakannya, makna MPR melantik presiden adalah mengangkat. Pelantikan presiden bagian dari prosesi pemilihan presiden dan ada pendapat lain yang kontra terhadap hal tersebut. Pelantikan dan sumpah itu 2 hal yang berbeda, maka idealnya harus diatur lebih lanjut. “Maka dari itu penting untuk dibuat instrumen hukum terkait dengan pelantikan presiden baik itu berupa keputusan MPR, Ketetapan MPR, produk hukum lainnya,” ujarnya.

Selanjutnya Andyan SH MH menyampaikan, MPR merupakan representatif rakyat. Karena itu ia menekankan MPR harus tetap seperti sekarang, “Namun, MPR harus ada kewenagan membuat haluan negara dan presiden harus bertanggungjawab dengan rakyat,” kata dia.

Sedangkan Benito Asdhie Kodiyat SH MH berkata, kedudukan MPR menjadi penting bagi konstitusi Indonesia. Menurutnya, bentuk pelantikan presiden dengan cara mengambil sumpah jabatan merupakan konsekuensi logis dari menggunaan sistem presidensial dan perubahan kedudukan MPR dalam desain kelembagaan negara. “Sumpah merupakan hal yang sangat penting dalam pengangkatan Presiden. Di sisi lain, pentingnya gerakan haluan nasional dalam pembangunan nasional agar tidak berdampak terhadap pembangunan daerah,” ujarnya.

Anggota MPR RI, Haerul Amri, menyampaikan, terkait dengan MPR, ia menganalogikannya dengan sebuah keluarga. Tradisi kehidupan keluarga, idalnya harus ada yang lebih tinggi, lebih tua dan lebih dewasa sebagai rujukan. Penting rasanya keberadaan lembaga tinggi negara, idealnya legitimasi terkait dengan pelantikan presiden harus diciptakan. “Maka dari itu, harapannya MPR melalui TP MPR, mengatur terkait dengan tata cara pelantikan dan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden,” kata dia. (*)


Laporan: Dhabit Siregar