Komunisme – indhie.com

Komunisme

Oleh: Nirwansyah Putra
Puing-puing kantor PKI yang dirusak massa. [foto: Gahetna/Het Nationaal Archief]


Nirwansyah Putra
ditulis oktober 2013 [1]


 

PROLETAR dan borjuis adalah dua kelompok yang tak berdaya melawan kutukan. Borjuis menjalani takdir sebagai elit, kaya, mengeksploitasi sumber daya hingga titik maksimal dan kemudian menyampakkan serpihan-serpihan sisanya. Mungkin itu adalah salah satu contoh “kemurahan hati” kepada mereka yang non-borjuis.

Proletar terpuruk di koin sebelahnya. Miskin, lemah, tak berdaya dan menjadi alat-alat produksi yang memerkukuh kehidupan kaum borjuis. Serupa tapi tak sama, proletar punya tabiat untuk menghapus kalangan borjuis, sementara kaum borjuis mengeliminasi mereka dari daftar kelompok yang berhak hidup; laiknya kayu-kayu bakar penghangat malam-malam dingin mereka yang lantas menjadi abu. Dia menjadi dendam kesumat hingga dunia berakhir dan kemudian beralih ke suatu tatanan yang baru, apapun bentuknya.

Tidak ada sisi dalam kaum borjuis yang dari sudut moralitas –terutama versi agama dan aliran filsafat yang menentangnya– dipandang sebagai sebuah “kebaikan”. Tidak ada poin sama sekali. “Kebaikan” bagi mereka adalah borjuasi itu sendiri, pemusatan kekuatan manusia pada sumber daya ekonomi yang memersyaratkan habitat hedonis sebagai frame sosial budaya tempat mereka berkembang biak. Seandainya kaum penguasa dan kaya menyisihkan duitnya dalam bentuk sedekah, maka itu hanyalah kamuflase untuk semakin meningkatkan produktivitas kaum proletar, sebuah kaum dari kelompok terasing ataupun yang diasingkan dari habitat mereka, namun sungguh dibutuhkan untuk menyangga dan menyambung hidup kaum borjuis. Kuasa dan kekayaan adalah kondisi.

Persoalannya, bagi Karl Marx, bukanlah memerdebatkan siapa yang lebih dulu muncul, namun pada pertarungan keduanya. “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles,” tulisnya dalam The Communist Manifesto.

Marx mungkin saja kurang peduli apakah panggung kehidupan akan terasa sangat begitu hambar bila hanya ada tontonan pertarungan proletar-borjuis.



* * *

Namun, apa yang disuguhkan sejarah di Indonesia justru lebih detail daripada yang diangankan oleh Dipa Nusantara Aidit ketika memutuskan untuk mengambil alih Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1951. Di usianya yang “masih” 38 itu, di hadapannya terserak sejuta alasan mengapa PKI akan mampu tumbuh berkembang menjadi kekuatan komunis ketiga terbesar dunia. Kapitalisme Amerika Serikat, negara yang bersama Inggris dan Eropa Barat dituduh oleh komunis sebagai kelas negara borjuis dalam struktur negara dunia, justru membesarkan nama dan partainya. Goliath telah keliru memandang David yang “kecil”. Keputusan Goliath untuk meladeni pertarungan dengan David, justru menjadikan David sebesar dirinya. Peta kelas internasional telah memberi keuntungan bagi Aidit dan PKI.

Sementara, di dalam negeri, berserak-seraklah manusia-manusia yang dapat diciptakan sebagai kaum proletar. Mereka adalah kelompok yang selama ini hanya menjadi budak-budak para tuan tanah, perkebunan, pabrik-pabrik; buruh yang menyambung hidupnya hanya dalam dan untuk hitungan hari, yang hanya mempunyai satu kesenangan hidup yaitu gairah dalam keremangan malam bersama para istri dalam gubuk-gubuk mereka. Inilah benih-benih “tentara rakyat”.

Maka, jadilah dia berdiri di depan mereka, memberi mereka tempat untuk menapak di atas dunia dengan mengusulkan secara radikal, di antaranya, undang-undang agraria. Si miskin, si budak tadi, “merasa” eksis kembali; mereka (akan) punya tanah untuk ditapak. Tak hanya itu, Aidit juga mengusulkan agar mereka diberi senjata. Ah, adakah mereka bersalah karena berjanji berjuang kepada yang memberi eksistensi (plus senjata) kembali? Toh, mereka tak merasa kalau itu adalah sebuah muslihat.

D.N. Aidit dan Nyoto, pimpinan PKI sebelum dibubarkan 1966. [foto: life/net]

BACA JUGA: Abdul Haris Nasution, Gerilya Menyelamatkan Indonesia


Sejenak Aidit mengambang, apalagi (karena) Soekarno, Presiden yang memaklumkan dirinya sebagai Paduka Yang Mulia, telah memberi angin itu. Aidit pun dengan percaya diri berlindung di balik dasar negara, Pancasila. Dalam ceramahnya di hadapan para mahasiswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) pada 29 Juni 1963 Aidit melontarkan pemikiran bahwa ideologi komunis juga terangkul dalam Pancasila dan karena itu punya hak yang sama dalam bingkai Pancasila. Ini sebagian kutipan dari kata-katanya:

“Tuan Komunisto-phobi rupanya tuan pura-pura lupa bahwa dalam Panca Sila tidak hanya ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kami tidak setuju main ‘urat tunggang’ seperti Hamka, yang mengatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang Panca Sila. Sebab, kalau demikian kaum nasionalis dapat pula mengatakan bahwa sila Kebangsaan adalah urat tunggang Panca Sila, dan kaum Komunis dapat pula mengatakan bahwa sila Keadilan Sosial adalah urat tunggang Panca Sila. Kalau sudah demikian apalagi artinya Panca Sila sebagai alat pemersatu? Oleh karena itu kaum Komunis menentag pemretelan atau pemisahan satu-satu daripada sila-sila Panca Sila. Kalau setuju Panca Sila terimalah sebagai kesatuan, dan jika demikian ia tidak bisa lain daripada alat pemersatu atau Eka Sila Gotong Rojong.[2]

Perhatikanlah, Aidit merasa bahwa sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memberi hak bagi komunisme untuk hidup, bersanding-sandingan dengan agama. Di mana, kalangan agawaman –terutama Islam–, seperti yang sudah disitir oleh Aidit sendiri, berpandangan bahwa antara komunisme dan Ketuhanan yang Maha Esa berada dalam hubungan yang kontras. Itulah siasat tafsir politik Aidit terhadap ideologi negara Pancasila pada waktu itu.

Saya kurang begitu tahu persis, apakah dikumandangkannya konsep Nasional-Agama-Komunis (Nasakom) oleh Soekarno, adalah karena telah termakan ucapan Aidit ataukah Soekarno malah telah terjebak oleh angannya bahwa dialah yang menjadi pemersatu, menjadi naung besar seluruh paham yang ada di Indonesia. Selintas, angan ini tak beda benar seperti yang sering disebut-sebut dalam konsep “Raja”. Tidak payah untuk disangkal, kalau di penghujung kekuasaannya, Soekarno malah lebih dikenang sebagai Presiden yang diktator yang memusatkan seluruh kekuasaan di tangannya. Bahkan, pasangan dwitunggal-nya, Mohammad Hatta, ideolog, intelektual sekaligus proklamator Republik Indonesia asal Minangkabau itu, memutuskan untuk berpisah dengan Soekarno.

Membincangkan Indonesia memang akan tak adil bila hanya dipenuhi oleh gerak Soekarno dan Hatta saja. Bangsa ini memang bukan milik mereka berdua dan bukan tentang cerita mereka saja. Namun, agaklah aneh bila Hatta kemudian hanya ditulis sebagai proklamator dan Bapak Koperasi semata. Sementara sisi lain seperti begitu pahamnya Muhammad Hatta –dan Sutan Sjahrir—akan sosialisme namun kemudian menjadi target operasi dari komunisme Aidit, luput dari perbincangan.


BACA JUGA: Bencinya Aidit pada Muhammad Hatta


Tuan dan Puan, burung-burung sejarah telah memberi kita kabar yang sama-sama telah kita baca, walau mungkin dari versi dan tafsir yang berbeda, kalau Aidit telah gagal total di titik klimaksnya. Entah mengapa saya merasa Aidit lupa akan detail yang tak dituliskan oleh Karl Marx, Lenin dan Stalin yang berlatar industri Eropa. Juga detail yang tak diungkapkan oleh Mao Tse Tung ketika merubuhkan tembok-tembok (sosial kultural) China.

Benar bila nasib dan pergerakan buruh dan tani menjadi jualan politik paling penting dari komunis Soviet dan Cina, namun locus sosial, kultur dan politik Indonesia ternyata berbeda jauh dengan dua negara besar itu. Bukan tak ada kemiripan, tapi yang lebih pasti justru ketidaksamaan.

Benar bila ada penjajahan dan feodalisme yang sudah berumur ratusan tahun di Indonesia. Benar bila ketidakadilan seakan-akan sudah menjadi santapan setiap hari mayoritas orang Indonesia. Kondisi itu, kondisi yang sering disebut ladang subur bagi paham komunis, ternyata tidaklah membuat komunisme menjadi jawaban bagi apa yang diinginkan oleh orang Indonesia ketika berbisik, “Merdeka…” (*)


[1]     Tulisan ini pernah dimuat di Harian Waspada Medan edisi Selasa, 8 Oktober 2013.
[2]     D. N. Aidit. “PKI dan Angkatan Darat (Seskoad)”, Juli 1963, sumber:  https://www.marxists.org/indonesia/indones/1963-AiditPKIdanAD.htm, diakses ulang pada 18 November 2019. Dalam catatan keterangan di situs itu, ceramah ini disajikan Aidit pada 29 Juni 1963 di hadapan mahasiswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) dengan judul “Pertahanan Nasional Harus Tunduk pada Strategi Umum Revolusi Indonesia”, yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan, Jakarta, Juli 1963.

2 thoughts on “Komunisme

Leave a Reply