Cawe-cawe Jawa – indhie.com

Cawe-cawe Jawa

Tentang cawe-cawe dalam konteks politik. Juga, tentang budaya politik Jawa.
ilustrasi. [foto: net]


Shohibul Anshor Siregar

Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum ‘nBASIS 


 

J. Barker (2013) yang menyoroti peran tradisi, modernitas, kekuasaan dalam politik Jawa dan pergeseran dinamika politik menghadapi modernitas, sama sekali tidak menyinggung cawe-cawe.

Lain dengan M. D. Barr (2017) ketika menyelidiki pengaruh budaya politik Jawa terhadap penggunaan cawe-cawe dalam konteks politik yang secara khusus berusaha mempelajari penggunaan cawe-cawe sebagai bagian dari strategi politik yang melibatkan patronase dan aliansi lokal.

Ternyata peran cawe-cawe sangat penting dalam memperoleh dukungan politik dan membangun hubungan personal. Barr menggambarkan cawe-cawe sebagai bentuk komunikasi politik yang melibatkan interaksi personal dan jaringan sosial untuk memperoleh dukungan politik dengan pengungkapan fakta paling menonjol penyediaan bantuan dan jasa kepada pemilih sebagai imbalan atas dukungan politik mereka. Cawe-cawe begitu riuh dengan pengarusutamaan aksi-aksi memberikan hadiah, pemberian uang, dan janji-janji kebijakan yang berorientasi pada kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Barr tak segan-segan menyoroti dampak negatif dari penggunaan cawe-cawe dalam politik, seperti potensi korupsi dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Artikel ini mengilustrasikan kompleksitas politik di Jawa Tengah dan menunjukkan bahwa praktik cawe-cawe berperan penting dalam menjalin hubungan personal dan membangun dukungan politik di tingkat lokal.

“… cawe-cawe sebagai bentuk komunikasi politik yang melibatkan interaksi personal dan jaringan sosial untuk memperoleh dukungan politik dengan pengungkapan fakta paling menonjol penyediaan bantuan dan jasa kepada pemilih sebagai imbalan atas dukungan politik mereka.”

Tinjauan Barr yang menggambarkan bagaimana cawe-cawe memainkan peran penting dalam patronase dan kampanye politik di tingkat lokal, sambil mengidentifikasi konsekuensi yang terkait dengan praktik tersebut sebelumnya telah dikemukakan oleh Daniel Dhakidae (2009) dalam Democratic Transition in Indonesia: The Local and National Implications of the 2004 Elections.



Dhakidae yang menganalisis implikasi transisi demokratis di Indonesia pada tingkat lokal dan nasional itu juga menyoroti peran budaya politik Jawa dalam proses transisi politik dan, unfortunately, menggambarkan pengaruh cawe-cawe (Pemilu 2004). Bagaimana 20 tahun kemudian (pemilu 2024)? B. S. Hadiwinata & Setiyono, B. (2016) dalam Political Culture and Consolidation of Democracy in Indonesia: A Study on Javanese Culture membahas budaya politik Jawa dan konsolidasi demokrasi di Indonesia, nilai-nilai dan prinsip budaya politik Jawa yang mencakup cawe-cawe. Suka atau tidak suka, ia menawarkan wawasan tentang bagaimana budaya politik Jawa memengaruhi proses demokrasi di Indonesia. Sentralisasi nilai cawe-cawe itu, dengan peluang penyebaran “lekas-tuntas” ke seluruh tanah air untuk “didarahdagingkan”, menjadi salah satu ancaman demokratisasi yang begitu berbahaya.

Tak yakin? M. Mietzner (2014) dalam Money, Power and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia sudah menganalisis tuntas peran uang, kekuasaan, dan ideologi dalam partai politik di Indonesia pasca otoritarianisme. Juga menyoroti strategi politik yang melibatkan patronase dan koneksi personal dalam upaya memperoleh dukungan. Tak lupa ia mengaitkan penggunaan cawe-cawe dengan dinamika politik di Indonesia pasca-Suharto.

Paling enak dinikmati narasi S. Rahardjo (2012) ini. Ia yang menulis “Ngopi Rasa Cawe-Cawe: Semiotika Ngopi Bagi Masyarakat Jawa” menemukan makna simbolis dan semiotika minum kopi dalam budaya Jawa dan itu, rupanya, adalah penerapan cawe-cawe. (*)