PADA petang Kamis malam Jumat 4 jalan 5 Muharram 1374, bersetuju dengan 2 jalan 3 September 1954, telah meninggal dunia Ki Bagus Hadikusumo, bekas Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Beliau dilahirkan dalam tahun 1890 di Yogyakarta. Dia bersaudara 4 orang laki-laki dan seorang perempuan, kelimanya terkenal sebagai orang-orang yang terkemuka dalam pergerakan Muhammadiyah. Yaitu Haji Syuja’, Haji Fachrudin, Haji Ki Bagus Hadikusumo, H. Zaini dan Siti Munjiyah. Dengan ini telah empat orang yang meninggal dari kelima bersaudara itu, dan tinggallah yang paling tua, yaitu H. Syuja’.
Pembina Muhammadiyah
Sebagai seorang kyai yang berkedudukan baik, termasuk abdi dalem istana Yogyakarta dan mampu pula karena kemajuan perniagaan batik, Kyai Ahmad Dahlan telah membangkitkan pergerakan Muhammadiyah dan diresmikan pada tahun 1912. Maka kelima bersaudara itu sejak saat itu pula telah menjadi pengikut yang setia daripada Kyai Dahlan dan telah turut membina pergerakan Muhammadiyah dengan segenap tenaga mereka.
Syuja’ terkenal karena dialah yang mula-mula menggerakkan bagian Muhammadiyah yang bernama “Penolong Kesengsaraan Umum” (PKU). H. Fachrudin terkenal sebagai orang yang kedua sesudah KH Dahlan. H. Zaini terkenal pula karena kemahirannya tentang agama Kristen, Siti Munjiyah sebgai muballighat ‘Aisiyah yang telah menjalani seluruh Indonesia. Dan Ki Bagus adalah seorang tenaga pemikir, mendalami soal-soal agama, sehingga di waktu mudanya banyaklah murid-murid yang datang berguru kepadanya, terutama dalam hal tafsir.
Maka terdapatlah di Jogja ulama atau kyai-kyai yang berpengetahuan luas. Di samping bergerak dalam Muhammadiyah, tidak pula mereka lengahkan soal-soal politik. Ki Bagus sendiri pernah masuk Budi Utomo dan kemudian masuk Syarikat Islam di bawah pimpinan almarhum H.O.S. Tjokroaminoto.
Namun beliau tetap menjadi tenaga “dalam”. Namanya keluar pergerakan pada waktu itu tidaklah begitu terkenal. Yang terkenal ialah H Muchtar, H Hisyam, H Fachrudin, KH Ibrahim, KH Mas Mansur, AR St Mansur. Tetapi dalam Muhammadiyah sendiri dirasakan bahwa banyak soal yang belum dapat diputuskan sebelum didengar pertimbangan-pertimbangan daripada Ki Bagus Hadikusumo.
Pribadinya adalah menyerupai sahabat nabi, Abu Dzar. Suka akan kesederhanaan. Dan jemu akan hidup bermewah-mewah.
Saya mulai bertemu dan mengenal beliau ialah di tahun 1924, ketika dibawa ke rumahnya mempelajari Tafsir Qur’an oleh paman saya Ja’far Amrullah. Agaknya karena masih amat muda, belumlah saya kenal benar pribadi beliau. Tetapi dari tahun ke tahun, penghormatan saya kepada beliau bertambah besar. Sebab boleh dikatakan setiap waktu kakak saya AR St Mansur memuji namanya.
Kemudian setelah saya menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo (1929) saya lihat sendiri bagaimana kesayangan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah kepada dirinya. Terutama KH Mas Mansur. Yang saya (lihat) pada waktu itu hanya kelucuannya, kegembiraannya dan kesederhanaannya. Tetapi setelah saya kian lama kian masuk ke dalam masyarakat Pergerakan Muhammadiyah, kian tahulah saya siapa beliau.
Hidup dan Falsafahnya
Lautan ilmu yang keras memegang agama dan memegang strategi perjuangan umat Islam. Tetapi tidak mau terkemuka. Ketika kursi-kursi untuk Pengurus Besar di Kongres dideretkan sebelah muka, dan anggota-anggota PB (Pengurus Besar) duduk dengan safnya yang teratur dia sendiri sengaja duduk kebelakang-kebelakang bersama dengan utusan banyak.
Berbicara sambil lucu, mendengar keluh-kesah dari daerah karena halangan kaum adat dan pemerintah penjajahan. Dan pakaian yang dipakainya kadang-kadang tidak teratur, sebab dia mempunyai filsafat sendiri tentang memakai pakaian. Dia tidak keberatan datang ke Kongres Bukittinggi dengan memakai pakaian H.W. (Hizbul Wathan,-ed.), sebab dengan pakaian pandu dapat potongan (reduksi) pada K.P.M. Tetapi bila dia menegakkan hujjahnya di dalam Majelis Tarjih atau Tanwir, jarang yang dapat membantah.
Filsafatnya tentang memimpin pergerakan ialah: “Kemukakan mana yang mau kemuka. Dia akan tetap duduk di belakang-belakang”. Sebab rupanya dia tahu bahwa yang di muka itu tidak akan dapat berbuat apa-apa kalau tidak bertanya kepadanya.
Seketika didirikan Partai Islam Indonesia, dan Wiwoho dipilih menjadi formatur, Ki Bagus telah turut dipilihnya menjadi anggota Dewan Pimpinan (1939).
Berturut-turut pemuka-pemuka Muhammadiyah telah meninggal. KH A Dahlan digantikan oleh KH Ibrahim dan disokong oleh H Fachrudin. Semuanya meninggal. Lalu ketua PB diganti dengan H Hisyam. Meninggal H Hisyam diganti dengan KH Mas Mansur. Dan seketika Jepang memasuki tanah air kita, tampillah pemimpin “Empat serangkai (Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH Mas Mansur). Sebab itu KH Mas Mansur terpaksa meninggalkan Jogja. Dan ketua PB (Pengurus Besar, -ed.) harus diganti. Siapa akan gantinya? Tidak ada suara lain, melainkan kepadanyalah harus jatuh giliran menjadi ketua PB. Walaupun yang sama tuanya, sama murid langsung dengan KH Ahmad Dahlan, yaitu abangnya H. Syuja’ dan H Muchtar masih hidup, keduanya pun menyerahkan kepadanya. Apatah lagi pemimpin yang muda-muda. Hal yang tidak diingininya terpaksa diterimanya.
Sebagai ketua dari pergerakan agama yang besar itu, tentu saja dia dihormati dan dibesarkan. Kadang-kadang harus dinampakkan benar penghormatan itu, karena hendak menunjukkannya kepada pihak kekuasaan Jepang. Padahal beliau bosan dan jemu dengan cara yang demikian. Ini kerap menimbulkan jengkal (jengkel) pada yang muda-muda, seumpama Prof A Kahar Muzakkir, Farid Ma’ruf dan HM Yunus Anis. Dia tidak mengenal dan tidak mau kenal protokol-protokolan. Kadang-kadang meskipun dikenalnya, dilanggarnya. Sengaja dilanggarnya! Baginya pemimpin rakyat ialah hidup secara kerakyatan. Karena dia bukan “Abdidalem” atau Keluarga Sultan. Pendirian demikian tetap dipegangnya sampai matinya.
Ketika zaman Jepang Bung Karno dan Bung Hatta pergi menghadap Kaisar Jepang ke Tokyo, beliaupun ikut. Sebab baik Bung Karno dan Bung Hatta, ataupun pihak Jepang sendiri, tahu siapa yang berdiri di belakang “Kyai lucu” yang sangat sederhana ini. Pergi ke Jepang pun dia tetap seperti itu juga. Kadang-kadang protokol dilanggarnya! Sehingga Bung Karno dan Bung Hatta terpaksa menahan rasa jengkel terhadap orang yang walaupun bagaimana, harus diakui kebesarannya.
Saya teringat seketika saya datang ke Jogja tidak lama setelah beliau kembali dari Tokyo. Saya ingin hendak melihat Bintang Bahduri “Ratna Suci Kelas III” yang diterimanya bersama Bung Hatta, (Bung Karno mendapat Ratna Suci Kelas II). Diperlihatkannya bintang itu dengan sikap yang lucu, sehingga kalau kiranya ada Jepang yang melihat tentu mereka akan marah. Kadang-kadang Kimono hadiah Tojo dipakainya ke rapat!!
Setelah Zaman Revolusi, beliau turut mendirikan Masyumi dan duduk dalam Majelis Syuro Masyumi bersama dengan Kyai Hasyim Asy’ari, Haji Agus Salim dan pemuka-pemuka yang lain.
Di tahun 1950 Muhammadiyah mengadakan kongresnya kembali di Jogja, Kongres ke-31. Beliau terangkat kembali menjadi ketua PB. Menolaklah beliau dengan keras. Tetapi suara telah bulat dalam Majelis Tanwir, bahwa tidak ada orang lain yang pantas dan berhak, melainkan beliaulah.
Seketika pengangkatan Ketua diresmikan, beliau tidak datang! hanya surat saja dikirimkannya. Sudah lama rupanya beliau merasa dirinya sakit. Bukan badan lahirnya yang sakit, tetapi hatinya yang sakit. Ini sudah kerap kali diterangkannya.
Yang menyakiti hatinya ialah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang benar-benar memikirkan agama. Politik sudah terlalu terletak di muka, sehingga hukum kadang-kadang telah diabaikan. Pemimpin-pemimpin berkaok-kaok menyebut agama, tetapi dia sendiri tidak memperdulikan agama. Kehidupan sehari-hari jauh dari agama. Dia mengharap bahwa kaum wanita Islam dalam gerakan ‘Aisiyah akan tetap memegang teguh pendirian agama. Padahal dilihatnya ‘Aisiyah yang diharapkannya itu, dengan tidak sadar, telah berpikir cara pikiran lain. Kebudayaan barat yang selama ini dicela, telah masuk ke dalam rumah tangga orang-orang yang katanya memperjuangkan Islam selama ini.
Kesederhanaan dan Tegas
Pemuka-pemuka agama berebut-rebut mencari pangkat, sehingga perjuangan yang menjadi dasar hidup selama ini, telah mereka tinggalkan. Satu kali pernah dia berkata : “Dahulu kita dengan teman kita N.U. bertengkar memperkatakan hukum agama. Tentang talqin mayit, tentang melafalkan niat. Tentang khutbah dengan bahasa Indonesia. Sekarang kita bertengkar lagi, tetapi sudah lain! Kita bertengkar tentang kursi, tentang pangkat, tentang jabatan menteri. Dahulu masih agama yang kita perdebatkan, tetapi sekarang tentang dunia”.
Kita yang lain pun memikirkan ini, tetapi tidak sampai menjadi penyakit. Namun bagi beliau rupanya masuk hati betul-betul.
Oleh karena wafatnya Bunyamin, beliaulah dikemukakan Masyumi menjadi gantinya duduk di Parlemen.
Mungkin orang berpikir, tentu sekarang akan berubah sikap hidup beliau. Sebab jaminan belanja telah cukup! Tetapi persangkaan itu meleset. Sebab tambah jadi anggota Parlemen, tambah jelas kesederhanaannya. Orang berebut membeli auto (mobil) baru dengan prioriteit (prioritas) dan ada yang menjualnya kembali, sehingga dituntut di muka hakim, namu beliau masih naik becak atau naik tram ke parlemen. Di dekat beliau di hotel, seorang anggota parlemen “tawar menawar” dengan orang-orang yang ingin mendapat kuota haji, namun beliau hanya melihatnya dengan senyum.
Satu kali kami diundang bertukar pikiran oleh Presiden ke istana. Bagaimana hendaknya menyelesaikan pemberontakan batalyon 426 di Jawa Tengah. Satu per satu kami masuk. Saya lihat sendiri Bung Karno memeluknya dan terlompat dari mulutnya, “Oh, Guruku!” Sehingga kami yang lain, termasuk saya, menjadi iri hati! Bukankah sayapun gurunya?
Setelah duduk bercakap-cakap dan bergilir berbicara, akhirnya tibalah giliran pada beliau. Maka dengan terus terang beliau berkata, “Mungkin memang diatur demikian rupa, supaya hati golongan Islam sakit! Mereka hanya dipergunakan orang seketika perlu untuk mencapai hajatnya! Tetapi setelah hajat tercapai, kekuatan Islam itu harus dipatahkan! Karena kalau secara legal, Islam mesti menang. Lalu dibikin cara yang lain. Ahli-ahli ketentaraan dari pihak Islam, yang besar pengaruhnya, dikirim ke luar negeri! Yang di dalam dikecewakan hatinya, sehingga yang tidak sabar menjadi gelap mata”!
Ketika dia berbicara itu pecinya dibukanya dan dia bersila di atas kursi empuk. Bung Karno hendak berbicara sebelum perkataannya sampai. Lalu dia berkata, “Tunggu dulu! Biarkan perkataan saya lepas!”
Lalu disambungnya pula, “Saya percaya bahwa hal ini tidaklah Bung sukai! Tetapi saya percaya pula, bahwa Bung tahu juga akan hal ini”.
Bung Karno mengangguk!
Penutupnya beliau berkata: “Kekuatan Indonesia ini terletak pada semangat Tauhidnya Umat Islam. Segala kejadian ini saya rasa, adalah politik orang lain, yang sengaja hendak meremukredamkan Indonesia. Kalau Islam tidak kuat lagi, apalah artinya kekuatan Indonesia”!
Inilah Ki Bagus! (*)
Catatan:
- Tulisan ini bersumber dari Majalah Hikmah (dikelola oleh Mohammad Natsir) edisi 20 Muharram 1374/18 September 1954 tahun VII/38. Ditemukan, ditulis ulang dengan ejaan baru oleh Muhammad Fisabilillah dan diupload ke situs suaramuslim.net. Tulisan Prof Hamka dalam postingan ini, bersumber dari situs tersebut.
- Ki Bagus Hadikusumo (24 November 1890- 4 November 1954) merupakan Ketua PP Muhammadiyah sejak 1942-1953. Sebelum menjadi Ketua PB (dulu masih memakai kata Pengurus Besar/PB, sekarang Pimpinan Pusat/PP), Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh, Majelis Tarjih, dan Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah. Selama memimpin Muhammadiyah, Ki Bagus merupakan salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang di antaranya bertugas merumuskan dasar negara dan konstitusi Indonesia. Ki Bagus Hadikusumo diberi gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia pada 10 November 2015 lalu.
- Artikel itu ditulis oleh Prof DR Hamka (singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, 17 Februari 1908–24 Juli 1981), ulama besar Muhammadiyah dan Indonesia yang juga digelar sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia pada 8 November 2011. (Foto Hamka, sumber: dok warta muslim/suara muhammadiyah)