Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dilahirkan lahir di Yogyakarta, 12 April 1912. Nama lahirnya bertajuk Gusti Raden Mas Dorodjatun di Ngasem. Dia merupakan putra Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisurinya Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara.
Sebagai putra raja, pendidikannya jelas sangat mumpuni. Sewaktu kecil dia bersekolah di Europeesche Lagere School (sekolah dasar yang diperuntukkan bagi orang Eropa dan kaum elit) di Yogyakarta. Kemudian beranjak ke Hoogere Burgerschool di Semarang, dan Hoogere Burgerschool te Bandoeng – HBS Bandung. Pada 1930-an ia pergi kuliah ke luar negeri di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda.

Sewaktu naik tahta, gelarnya cukup panjang: Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Pengaruh Islam yang kuat di kesultanan Yogyakarta jelas tergambar dari gelar itu.

HB IX dikenal dengan pendiriannya yang keras, tegas dan kukuh. Sewaktu hendak naik tahta, dia mengajukan tiga permintaan yaitu tidak setuju jabatan patih merangkap sebagai pegawai kolonial; menolak penasehatnya ditentukan oleh Belanda; menolak permintaan agar pasukan keraton mendapat perintah langsung dari pemerintah kolonial. Sikapnya tergambar dari permintaan itu.
Pidatonya saat naik tahta pada 18 Maret 1940, sangat terkenal. HB IX menegaskan jati dirinya sebagai orang Jawa walau mengenyam pendidikan Belanda: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa”.

Di masa Jepang (1942-1945), dia hanya mau ditemui di kantornya di kesultanan. Saat Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, dia langsung memberi dukungan dan menegaskan bergabung dengan Indonesia pada 5 September 1945. HB IX juga menyumbangkan hartanya kepada republik Indonesia yang waktu itu baru lahir dan sangat kesulitan keuangan, dengan jumlah yang sangat besar. Sewaktu Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung Keraton Yogyakarta. (*)
sumber teks: kratonjogja.id, wikipedia