Ottoman dan Masa Modern
Setelah Dinasti Ottoman berkuasa, kekhalifahan lebih memerhatikan pengelolaan program haji secara khusus dan mengalokasikan anggaran tahunan untuk pengaturannya. Selama periode ini, Damaskus dan Kairo masih menjadi titik utama kafilah haji untuk berangkat dan kembali. Pengaturan haji ini termasuk mengelola ribuan unta untuk membawa jamaah, pedagang, barang, bahan makanan, dan air, hingga pasukan keamanan militer. Meski, banyak juga para jamaah ini yang berjalan kaki.
Komandan kafilah yang berangkat dari Kairo dan Damaskus ditunjuk khusus oleh otoritas Muslim dan dikenal sebagai Amir al-Haj. Mereka bertanggung jawab untuk melindungi kafilah, mengamankan dana serta perbekalan untuk perjalanan tersebut. Dokter dan tenaga kesehatan juga dikirim dalam kafilah Syria. Selama periode Ottoman ini, sekitar 20.000 sampai 60.000 orang melakukan jamaah setiap tahunnya.
Selama paruh kedua abad ke-19 (setelah tahun 1850-an), kapal uap mulai digunakan dalam perjalanan ke Mekah, dan jumlah jamaah dengan rute laut meningkat. Dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, waktu tempuh pun dipersingkat. Awalnya, perusahaan kapal Inggris memonopoli bisnis kapal uap ini. Dengan kekuasaan itu, mereka hanya memberi fasilitas minimal bagi jamaah.
Pada awal abad ke-20, Sultan Ottoman, Abdul Hamid II, membangun Stasiun Kereta Api Hijaz yang menghubungkan Damaskus dan Madinah. Dengan jalur ini, perjalanan dilakukan dengan relatif mudah dan sampai di Hijaz hanya dalam waktu empat hari dengan jarak tempuh 1.300 kilometer.
Pada 1936, pemerintah Arab Saudi menjalin kontrak dengan maskapai Misr dari Mesir yang menjadi penanda pertama layanan penerbangan untuk jamaah haji di setahun kedepannya, 1937. Namun, Perang Dunia II dari 1939-1945 menyebabkan penurunan jumlah jamaah. Sistem transportasi modern dalam perjalanan secara efektif dimulai hanya setelah Perang Dunia II.
Pemerintah Arab Saudi mendirikan Arabian Transport Company dan Bakhashab Transport Company pada 1946 dan 1948 untuk mengangkut jamaah di berbagai lokasi haji. Unta yang selama ini dipakai, secara resmi tidak dipakai lagi sebagai sarana transportasi pada 1950.
Selama musim haji 1946-1950, sekitar 80% dari total jamaah tiba melalui laut, 10% darat, dan 7% dengan transportasi udara. Pada 1970-an dan dekade berikutnya, transportasi udara pun mendominasi.
Dari cerita ini, yang perlu digarisbawahi adalah selama perjalanan itu, individu muslim saling membantu jamaah dalam perjalanan yang berat itu. Jadi, di luar makna haji secara spiritual, haji berkembang sangat penting sebagai fenomena sosial, memberikan kontribusi besar untuk menempa budaya Islam dan sebuah komunitas Islam di seluruh dunia yang memiliki karakteristik bersama menjembatani perbedaan kebangsaan, etnisitas dan adat istiadat. Pembangunan desa-desa dan masjid dari pantai Atlantik, Afrika, sampai ke Semenanjung Iberia dan dari pantai Pasifik Cina ke Zanzibar di selatan sampai Kaukasus dan Asia Tengah di utara, menyertai seluruh perjalanan itu.
UNESCO juga mencatat, pertukaran yang terjadi dalam perjalanan itu tidak hanya sekedar barang dagangan melainkan juga ide dan orientasi intelektual sehingga menunjang kemajuan muslim dunia dalam matematika, optik, astronomi, transportasi, geografi, pendidikan, perobatan, keuangan, kebudayaan hingga politik. (*)
penulis: nirwansyah putra
sumber: wikipedia, britishmuseum, dan sumber-sumber lain
catatan: Tulisan ini terdiri dari tiga artikel yaitu Haji, Rute Pertemuan Dunia; Pajak Haji, Perdagangan Hingga Perampokan; dan Perjalanan dan Militansi Haji dari Indonesia.
5 thoughts on “Haji, Rute Pertemuan Dunia”