Catatan rinci lainnya didapat dari buku Ibn Battuta. Ibn Battuta, penduduk asli Maroko, Afrika Utara, meninggalkan rumahnya pada 1325 untuk pergi haji sewaktu umurnya masih 21 tahun. Dia harus melewati Damaskus dan Kairo dan tidak bisa melewati jalur Baghdad, Irak, karena waktu itu Baghdad telah jatuh ke tangan Mongol pada 1258. FE Peters yang mengutip catatan Ibn Batuta ini dalam bukunya The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and the Holy Places (1994), mengatakan, jamaah haji di Suriah, Irak, dan Iran, dan Anatolia bergabung dengan kafilah Damaskus, sementara kafilah yang berasal dari wilayah Afrika Utara dan Sub Sahara bergabung dengan kafilah Kairo.
Tapi, Ibn Battuta tidak hanya berhenti di Makkah. Pasca haji, dia melanjutkan perjalanannya bahkan hingga ke China dan Asia Tenggara. Dalam bukunya yang terkenal berjudul Tuhfat an-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Sebuah Hadiah untuk Mereka yang Menatap Keajaiban Kota-kota dan Kegembiraan Perjalanan) yang di kalangan barat sering disingkat The Travels, perjalanannya meliputi Afrika Utara, Afrika Barat, Timur Tengah, India, Asia Tengah, Asia Tenggara hingga China. Bila ditotal, Ibn Battuta melakukan perjalanan itu selama kurang lebih 30 tahun!
Di Irak, titik pusat pengumpulan jamaah berada di Kufah dan Basra yang terhubung dengan Darb Zubayda menuju Hijaz, Arab Saudi. Rute Irak ini dimulai dari Kufah, melewati Fayd, melintasi wilayah Nejd (sebuah wilayah di Arab Saudi tengah), lalu menuju Madinah, dan kemudian sampai ke Mekkah.
Attabukiyah
Jalur Syria merupakan rute tertua yang digunakan jamaah haji menuju Makkah-Madinah. Dalam periode awal Islam, jalur ini dikenal dengan istilah Attabukiyah. Rute ini menghubungkan Damaskus ke Madinah. Dengan panjang sekitar 1.307 km, rute ini melewati sejumlah kamp dan stasiun, di antara yang terpenting adalah Al-Hajj, Tabuk, Al-Akhdhar, Al-Mu’azam, Al-Aqraa, Al -Hijr, dan Al-Ula.
Di Syria abad pertengahan, titik keberangkatan jamaah masih tetap Damaskus. Rute Syria ini dimulai dari Damaskus, menuju ke selatan, mencapai Al-Karak dan kemudian Ma’an (keduanya ada di Yordania sekarang), melewati Tabuk (barat laut Arab Saudi), Hijr (sekarang Mada’in Saleh di provinsi Madinah), dan Al-Ula (di utara-barat Arab Saudi, 380 km utara Madinah), lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah, dan kemudian sampai ke Mekkah. Sejak pemerintahan Umayyah sampai masa Dinasti Ottoman, kota Ma’an (selatan Jordania) menjadi tempat berbelanja atau pasar bagi jamaah di rute Syria. Di masa Ottoman, jalur ini mengambil waktu tempuh kira-kira 34 hari.
Sedangkan di rute Mesir, para jamaah akan berkumpul di Kairo, ibukota Mesir lebih dulu. Setelah empat hari, mereka akan menuju ke Ajrud (24 kilometer barat laut Suez), Suez, lalu melintasi Semenanjung Sinai melalui jalur Al-Nakhl. Jalur ini al-Nakhl merupakan jalur yang melewati barisan gunung dan daratan tinggi lalu masuk ke wilayah Gurun Aqaba di bagian selatan Yordania sekarang. Kafilah kemudian melakukan perjalanan sejajar dengan Laut Merah, kemudian ke Yanbu, dan dilanjutkan ke Madinah dan Makkah.
Dalam perjalanan darat ini, unta jelas menjadi kendaraan utama di samping kuda. Unta dapat berjalan dalam jarak yang jauh sembari membawa barang-barang daripada kuda. Total perjalanan darat di jalur-jalur itu biasanya memakan waktu kira-kira dua sampai tiga bulan.
Jalur Kairo juga menjadi titik masuk jamaah lain yang masuk lewat jalur laut. Dalam buku Eric Tagliacozzo dan Shawkat Toorawa berjudul The Hajj: Pilgrimage in Islam (2016), jalur yang digunakan para jamaah yang berasal dari Afrika, anak benua India, Asia Tenggara untuk masuk kawasan Hijaz, bervariasi. Jamaah haji dari Maghreb (Tunisia, Aljazair, Libya) akan melakukan perjalanan melalui pantai bawah laut Mediterania untuk mencapai dan bergabung dengan kafilah Kairo. Selain itu, jamaah Afrika juga mengambil jalur menyeberangi Laut Merah untuk mencapai Hijaz, dan kemudian ke Makkah.





5 thoughts on “Haji, Rute Pertemuan Dunia”