Pramoedya Ananta Toer, Sebuah Wawancara Imajiner – indhie.com

Pramoedya Ananta Toer, Sebuah Wawancara Imajiner

Ahad, 30 April 2006, sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, wafat di kediamannya, daerah Utan Kayu, Jakarta. Benarkah Pramoedya “meninggal”?
Pramoedya Ananta Toer (foto: internet)

SASTRAWAN besar itu “akhirnya” meninggal dunia. Tepatnya pada Minggu, 30 April 2006, di kediamannya daerah Utan Kayu, Jakarta, paru-parunya yang sering berkelahi dengan asap rokok, harus berhenti mengeluarkan oksigen. Pram memang perokok berat. Di hari-hari terakhirnya, keluarga Pram harus menyelipkan sebatang rokok di mulutnya untuk mengantisipasi kegemarannya merokok.

Tulisan ini dibuat untuk mengenang Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang kuat dan hidup dari dan di antara konflik dan polemik. Saya ingin mengenang wafatnya sastrawan ini dalam bentuk wawancara imajiner dengan Pramoedya. Terlepas dari salah atau tidaknya “prediksi” saya, wawancara ini disajikan dari banyak sumber mengenai pemikiran dan hasil karya Pram sendiri.

Toh memang, sepanjang hidup Pram sendiri tak pernah bebas dari polemik. Mulai Manifestasi Kebudayaan (manikebu) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dipimpinnya, polemik Magsaysay award dari Filipina, sampai polemik antara ritual Islam dan berkumandangnya lagu Internationale dan Darah Juang, sewaktu pemakamannya. Berikut petikannya.



Anda dikuburkan dengan ritual Islam tapi juga berkumandang lagu Internationale dan Darah Juang. ‘Kan itu lagu kebangsaannya komunis?
Ha…ha…ha…Anda ini berpikir kok seperti zaman dan pemerintahannya Orde Baru. Dulu Syarikat Islam juga ada poros komunisnya, sampai disebut SI merah. Terus saya juga dikatakan pengikut komunisme hanya gara-gara saya memimpin Lekra. Dan gara-gara itu, saya dipenjara di Pulau Buru, tanpa pengadilan. Karya saya juga dibakar habis. Apa sekarang, setelah saya mati, saya mau dibakar juga, hanya karena sejarah?

Pram dan rokok. (foto: revitriyoso husodo/flickr.com)

Lho, dalam hari terakhir Anda, Anda ‘kan memang mengatakan bakar saja saya?
Oh, itu. Anda baca di Jawa Pos, ya. Ya, memang benar. Salah satu kegemaran saya, selain membakar rokok, ya membakar sampah. Begini, saya tidak mungkin memberi tahu Anda, apakah saya dibakar atau tidak di sini. Apalagi banyak pengagum saya yang beraliran materialisme, juga tidak akan setuju, bila setelah kematian itu ada alam kubur, saya tidak mau berpolemik di situ. Hanya saja, waktu itu ‘kan kondisi saya sudah menurun. Saya sudah mengalami masa kritis beberapa kali. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan saya. Saya dengar itu permintaan mereka, ya, kalau diberi kesehatan agar sehat, tapi kalau tidak, ya, mereka sudah ikhlas. Sampai pukul 02.00, terus saya bilang, dorong saya saja. Tapi sepertinya teman-teman dan keluarga masih menyemangati saya. Terakhir, ya itu, ketika ajal menjemput, saya mengerang, akhiri saja saya, bakar saya sekarang. Saya berangkat pukul 08.55 pagi. Dulu saya sempat berpesan, kalau saya mati nanti, jasad saya dibakar saja dan abunya ditebarkan.

Tapi sepertinya tidak dilakukan, ya, Anda sepertinya menyesal?
Saya dulu pernah bilang sama Sinar Harapan. Nggak ngerti hidup saya begini. Dirampasin, diinjek, dihina. Karya saya pernah dibakar dan dirampas oleh rezim Orde Baru, gak ngerti saya sama mereka. Kalau negara membutuhkan, silakan ambil. Tapi, pakai tanda terima segala macem. Itu ‘kan lebih baik. Ini dirampas dan dibakari, nggak ngerti. Dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya. Berapa harganya, nggak bisa dihitung. Nggak ngerti ‘kok bisa berbuat begitu. Tapi dari dulu saya sudah bosan dengan perasaan. Makanya karya-karya saya lebih banyak soal rasionalitas. Penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Tapi memang ada resiko yang mesti ditanggung seorang diri. Banyak generasi sekarang yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. Itu urusan kalian lho, sudah bukan urusan saya lagi.

* * *

Generasi sekarang ‘kan generasi buku sejarah. Sumber-sumber mengenai Polemik Manikebu dan Lekra pun banyak ditingkahi kepentingan. Bagaimana sebenarnya?
Kalau versi saya, sebagian bisa dilihat di Lentera, itu lembaran budaya di harian Bintang Timur. Majalah TEMPO punya salinannya, Anda bisa baca di sana.

Ok, tapi Anda kelihatan membabat habis kubu Manikebu?
Begini. Saya mesti jelaskan dari awal. Simposium sastra pertama yang dulu berlangsung di Nedherland ini mengandung unsur bagi perkembangan sastrawan dan sastra Indonesia sesudah itu. Di sinilah sarjana hukum Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa revolusi telah menyebabkan manusia modern Indonesia menginsafi bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkannya dengan bersemangat itu pada hakikatnya membuatnya lebih melarat, karena ia telah kehilangan segala-galanya. Dan dalam situasi kehilangan semua-muanya ini, pembicara itu sendiri telah berhasil mengeduk keuntungan berlimpah sampai dapat meningkatkan jumlah miliuner nasional dengan dirinya sendiri. Andil Takdir kepada Revolusi memang meragukan, sekalipun ia seorang anggota KNIP dari sayap PSI, seorang kapitalis yang bicara atas nama sosialis.

Bagaimana menurut Anda, reaksi Takdir sendiri?
Gugatan yang tertuju kepadanya menyebabkan Takdir, dalam majalah “Pembangunan” 1947, berusaha membersihkan dirinya dengan bergayutan pada RA Kartini yang terus-menerus dihormati baik di zaman penjajahan Belanda, Jepang, maupun semasa revolusi itu. Padahal bukankah Kartini menganjurkan kerjasama antara Pribumi dengan Belanda? Dan justru gayutan ini menjelaskan pada kita bahwa Takdir tak banyak mengerti tentang perjuangan kemerdekaan yang sejak permulaan abad ini melulu kriteria dan taraf-tarafnya. Majalah Pembangunan tidak pernah mempunyai otorita sehingga suaranya pun padam tanpa meninggalkan gaung. Dan sejak Kongres Filsafat tersebut, praktis ia semakin lama semakin dekat kepada golongan KO, golongan pengkhianat semasa revolusi itu. Malah semasa pemerintahan federal di Jakarta, perusahaannya mendapat kemajuan cepat dan melompat.

Mengapa Anda begitu getol menghantam Manikebu?
Saya menolak menolak Manikebu/KKPSI (Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia, red) adalah soal prinsip dengan segala konsekuensinya. Kaum Manikebu /KKPSI muncul justru pada saat kita sedang mengarahkan sasaran tembakan pada kaum imperialis-neokolonialis sebagai titik-pusat tembak. Mereka muncul pada garis tembak kita. Apakah mereka tidak kena tembakan? Pasti kena sasaran tembakan kita secara tak terhindarkan. Dengan demikian mereka mereka melemahkan daya tembak kita pada titik-pusat kaum imperialis-kolonialis karena terpaksa harus menembusi dulu kaum Manikebu/KKPSI. Ini adalah bukan hal yang kebetulan.

Apakah manikebu sendiri kalah dalam pertarungan itu?
Proses dialektik di bidang sastra dan seni dan khususnya di bidang teori estetik mencapai penyelesaiannya dengan rubuhnya Manikebu secara politik. Dikatakan secara politik karena manikebuisme masih dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi, di badan-badan yang mengurusi seni dan kebudayaan, karena manikebuis masih bisa menduduki tempat-tempat yang strategik dalam badan-badan kekuasaan seni dan budaya. Kalau atau menang, itu terserah Anda.

* * *

Pram sewaktu di Pulau Buru.
(foto: internet)

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 sastrawan Indonesia menulis surat protes ke Yayasan Ramon Magsasay, di Filipina. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai “jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang” di masa Demokrasi Terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut “pencabutan”, tetapi mengingatkan “siapa Pramoedya itu”. Katanya, banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan HB Yassin akan berbuat serupa. Hal ini kemudian dibantah sendiri oleh HB Yassin.

Anda dituntut bertanggung jawab atas segala peran Anda dulu di Lekra …
Segala tulisan dan pidato saya di masa pra 1965 itu tidak lebih dari golongan polemik biasa yang boleh diikuti siapa saja. Saya tidak terlibat lebih jauh. Saya juga merasa difitnah ketika dituduh ikut membakar buku segala. Apakah karena itu, buku saya juga dibakar oleh Orde Baru? Perkara itu dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri. Saya seperti dikeroyok.

Apakah Anda merasa dihukum oleh Orde Baru dan masyarakat?
Saya pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial (1947—1949) dan 1 tahun pada masa Orde Lama. Selama masa Orde Baru, saya dipenjara selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan, dari tahun 1965 hingga 1979, mulai dari penjara Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Magelang, Semarang dan Pulau Buru. Saya dibebaskan dari tahanan 21 Desember 1979. Saya juga mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992. Setelah itu dikenai tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Tapi, karya-karya saya juga diterjemahkan dalam 41 bahasa dunia. Saya juga menerima Ramon Magsaysay Award, dan sejak 1981 dicalonkan sebagai penerima Nobel Sastra. Bagaimana menurut Anda?

Terakhir, mengapa Anda mengidolakan Soekarno?
Baca tulisan New York Times, pada edisi kematian saya. Tahun 2004, saya bilang ‘After Sukarno, there have only been clowns who had no capability to lead a country.’ Ha..ha..ha…saat itu Megawati jadi Presiden.

Pramoedya meninggal dalam usia 81 tahun. Selamat jalan, Tuan Minke….. (*)


penulis: nirwansyah putra
sumber: dikutip dari blog tukangngarang. Tulisan ini dibuat Mei 2006 sekitar seminggu setelah meninggalnya Pramoedya pada April 2006 dan kemudian diposting ulang di blog tukangngarang pada Juli 2008.


 

Leave a Reply