Tak Punya Legal Standing, Pelaporan Rektor UMSU Bisa Batal Demi Hukum – indhie.com

Tak Punya Legal Standing, Pelaporan Rektor UMSU Bisa Batal Demi Hukum

Belum ada prosedur administrasi dan pengajuan keberatan secara prosedural terhadap proses di UMSU.
Dr Adi Mansar SH MHum. [foto: ist]

MEDAN | Pakar Hukum Pidana Dr Adi Mansar SH MHum menilai, laporan tuduhan dugaan dan segala macam di lingkungan kampus UMSU merupakan satu tindakan yang sangat prematur untuk melaporkan ke pihak yang berwajib. Karena secara administrasi belum ada semacam kroscek untuk menyatakan bahwa secara administrasi ada kekeliruan.

Hal itu dikatakan Adi Mansar SH MHum ketika ditanya terkait laporan salah seorang oknum mantan pejabat kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ke Polda Sumut.

“Mestinya kalau ada kekeliruan diselesaikan terlebih dahulu, dan kemudian secara keperdataan juga pihak Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah melalui Badan Pelaksana Harian (BPH) UMSU belum pernah mengajukan keberatan terkait dengan sistem penggunaan, sistem pelaporan dan juga apa yang berkaitan dengan keuangan pada institusi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara,” ujar dosen Hukum Pidana Pascasarjana UMSU ini, pada Jum’at (17/3/2022).

Kalaupun itu terjadi, kata Adi Mansar, maka yang keberatan tetap semestinya orang yang mempunyai legal standing atau mempunyai kedudukan hukum. Sedangkan yang tidak mempunyai kedudukan hukum sama sekali menurutnya lebih bagus persoalan ini dihentikan secara hukum, agar tidak menjadi urusan hukum berikutnya.

“Alasan saya menyatakan urusan hukum berikutnya bisa jadi apabila orang yang membuat laporan tidak mempunyai legal standing atau tidak mempunyai posisi hukum yang kuat, karena berdasarkan pasal 184 KUHAP harus ada alat bukti. Dan kemudian menurut 183 KUHAP minimal harus dua alat bukti, ditambah dengan keyakinan hakim, baru kasus yang dilaporkan ini bisa diproses dan kemudian bisa mendapat putusan dan seterusnya,” tegas Adi Mansar.

Adi Mansar menjelaskan, sistem yang berjalan di UMSU berkaitan dengan pengkajian keuangan baik penerimaan dan pengeluaran sifatnya terpusat pada satu tupoksi dan kewenangan khusus yang diberikan pada pimpinan yang membawahi bagian administrasi dan keuangan. Apabila dalam pengeluaran pendistribusian keuangan, baik gaji maupun pendapatan lainnya bagi dosen dan tenaga pendidikan secara keseluruhan sistemnya di tingkat universitas akan ada pertanggungjawaban dan sifatnya selalu ada audit.

“Pertanggungjawaban itu bukan hanya kepada seseorang, tetapi juga kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah di Sumatera Utara dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, baik di Jakarta maupun di Yogyakarta melalui BPH UMSU. Apabila terjadi sesuatu kekeliruan maupun kesalahan, maka terlebih dahulu akan dilakukan koreksi maupun perbaikan. Lantas, apabila sudah diberi waktu untuk melakukan koreksi maupun perbaikan dan kemudian para pihak yang diberi wewenang dan tanggung jawab tidak melakukan koreksi dan perbaikan, maka yang mempunyai kewenangan untuk mengambil sikap dan tindakan adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun Pimpinan Wilayah Muhammadiyah atau pihak lain yang mendapat kuasa dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah maupun Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, baik terkait proses penegakan hukum secara administratif, perdata, maupun pidana,” jelasnya.



Menurut Adi Mansar, berkaitan dengan proses penegakan hukum yang dimulai dari administratif, maka diselesaikan terlebih dahulu secara administratif. Kalau tidak selesai dengan cara administratif, baru kemudian diselesaikan secara keperdataan.

“Jika langkah yang pertama dan kedua belum selesai juga, baru boleh dilakukan langkah yang terakhir yaitu langkah laporan pidana sesuai dengan asas hukum kita ultimum remedium, artinya penyelesaian masalah itu yang terakhir dilakukan secara hukum pidana,” tegasnya.

Kemudian, lanjut Adi Mansar, apabila ada orang yang melakukan perbuatan melaporkan keberatan dan seterusnya tanpa ada proses administrasi dan tidak mempunyai kewenangan dalam konteks melaporkan, artinya orang tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum untuk membuat laporan atau tidak mempunyai legal standing sama sekali menurut hukum.

“Dan harus dipahami, orang yang tidak mempunyai legal standing menurut hukum bisa jadi laporan itu cacat hukum, batal demi hukum atau tidak mempunyai dasar hukum sama sekali,” ujarnya.

Apabila sebuah tindakan tidak mempunyai legal standing, kata Adi Mansar, maka secara hukum baik laporan maupun prosesnya harus dihentikan secara hukum, karena menurut hukum formal orang atau badan hukum yang membuat laporan yang tidak didukung dengan kekuatan legal standing itu akan memperoleh kewajiban-kewajiban hukum, salah satunya bisa jadi dalam bentuk laporan palsu dan kemudian membuat pencemaran nama baik.

“Dan dalam konteks hukum yang lain bisa menimbulkan kekisruhan baik di tengah-tengah masyarakat maupun organisasi yang berkaitan dengan peristiwa hukum yang sedang dilaporkan,” sebutnya. (*)