SUKANTO Tanoto sedang sibuk diberitakan media. Riuh diberitakan media beberapa hari belakangan, para jurnalis internasional yang tergabung dalam Proyek OpenLux itu menemukan data di perbankan Luxembourg. Data yang mereka temukan itu, dicurigai menjadi bagian dari operasi pengemplangan pajak para orang kaya dunia. Nama Sukanto Tanoto ditulis ada di dalam.
Berita yang beredar itu diberi judul hampir seragam “Memburu Harta Gelap Keluarga Raja Sawit Sukanto Tanoto di Jerman”.

Ditulis mereka, Sukanto Tanoto diduga memiliki gedung-gedung besar dan mewah di Dusseldorf, Jerman. Nama Sukanto bersanding dengan anak sulungnya, Andre. Seperti diketahui, Sukanto Tanoto memiliki empat orang anak yaitu Andre Tanoto, Belinda Tanoto, Imelda Tanoto, dan Anderson Tanoto dari pernikahannya dengan Tinah Bingei Tanoto.
“Dari dokumen-dokumen Open Lux, terungkaplah kepemilikan gelap gedung-gedung Tanoto dan anaknya Andre di Jerman,” begitu tulis berita-berita itu. Konon, gedung itu dibeli Andre Tanoto pada 2019 lalu senilai 50 juta Euro atau sekitar Rp845,4 miliar (kurs Rp16.908/Euro). Keluarga taipan ini juga membeli bekas istana Raja Ludwig di München, Jerman, sekitar 350 juta Euro atau Rp5,9 triliun lebih (kurs Rp16.908/Euro).
Proyek jurnalis OpenLux dinaungi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Dalam situsnya, OCCRP mempunyai misi mengembangkan dan melengkapi jaringan jurnalis investigasi global dan menerbitkan karya jurnalis itu. “OCCRP mengungkap kejahatan dan korupsi sehingga publik dapat meminta pertanggungjawaban,” demikian tertulis di situs OCCRP itu.
Sukanto Tanoto bukan orang kaya sembarangan. Media Forbes meletakkan Sukanto Tanoto dalam urutan ke-22 orang terkaya di Indonesia pada 2020. Dia adalah pendiri dan pemilik Royal Golden Eagle International (RGEI), nama baru dari Raja Garuda Mas.
Dalam situs RGEI, Sukanto memiliki lebih dari 60 ribu pekerja di seluruh dunia dengan aset lebih dari US$20 miliar. Kerajaan bisnisnya disokong oleh lima pilar bisnis: Asia Pacific Resources Internasional Limited (APRIL) dan Asia Symbol bidang pulp and paper, Asian Agri dan Apical (kelapa sawit), Bracell (specialty cellulose), Sateri Holdings Limited dan Asia Pacific Rayon (bidang viscose fibre) dan Pacific Oil & Gas (bidang energi).
* * *
Sukanto Tanoto lahir di sebuah kota pinggir laut bernama Belawan, Medan, Sumatera Utara (Sumut) pada 25 Desember 1949. Dalam situs pribadinya, Sukanto Tanoto disebutkan sebagai anak tertua dari 7 bersaudara dari seorang imigran yang berasal dari Putian, Fujian, China. Dia menjalani pendidikan awal di sebuah sekolah berbahasa China tapi tak tamat dari sekolah itu. Pada 1966, di usianya yang ke-17, dia membantu ayahnya yang menjalankan bisnis penyedia sukucadang untuk perusahaan minyak dan gas. Bisnisnya berkembang seiring kenaikan harga minyak di 1972.
Dituliskan, sewaktu mengunjungi Taiwan, Sukanto Tanoto menyadari bahwa Indonesia mengekspor kayu tapi kemudian mengimpor produk jadi dengan harga tinggi. Dia pun yakin bisa memproduksi itu di Indonesia. Pada 1973, dia mendirikan Raja Garuda Mas (RGM) dengan sektor produksi kayu lapis.
Usahanya kian berkembang ketika kebijakan ekonomi Presiden Suharto pada waktu itu menginginkan perekonomian Indonesia salah satunya disokong oleh perkebunan. Dia lalu masuk industri sawit dan mulai mengoperasikan perkebunan dan kilang secara integratif.
Dalam situs Asian Agri, salah satu raksasa bisnis sawit miliknya, pada 1979, Sukanto Tanoto mengakuisisi lahan 8.000 hektar di Sumut dan mendirikan pabrik kepala sawit pertama di Gunung Melayu, Labuhan Batu, Sumut. Kini, Asian Agri memiliki 30 perkebunan sawit yang berlokasi di Riau, Jambi dan Sumut yang disebutkan seluas 100 ribu hektar. Asian Agri juga bermitra dengan skema petani plasma dan mandiri yang masing-masing mengelola 60 ribu dan 41.500 hektar perkebunan. Itu berarti, digabung kebun milik Asian Agri, ada total lebih 200 ribu hektar lahan perkebunan. Dengan 21 pabrik kepala sawitnya, Asian Agri mampu memproduksi lebih dari 1,1 juta metrik ton Crude Palm Oil (CPO).
Sukanto Tanoto pun memutuskan cabut, dia melepas TPL. Dalam laporan majalah TEMPO edisi 1 Februari 2020, disebutkan, Sukanto Tanoto kemudian menjual seluruh sahamnya di TPL kepada Pinnacle Company Limited pada 17 Desember 2007. Penjualan itu senilai Rp1,1 Triliun. Namun, “Ternyata Pinnacle juga ditengarai berafiliasi dengan Sukanto Tanoto,” tulis majalah itu dalam situsnya.
Konflik di Sumut ini tak terjadi di provinsi tetangga, Riau. Di sanalah Sukanto Tanoto membangun kerajaan bisnis Pulp & Paper miliknya dengan nama Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). RAPP inilah yang menjadi penyokong utama sektor bisnis pulp & paper dalam grup APRIL milik Sukanto Tantoto. APRIL terdiri dari 11 perusahaan yaitu RAPP, Riau Andalan Kertas (RAK), Sinar Mutiara Nusantara, The Best One Unitimber, Gemilang Cipta Nusantara, APRIL Management Indonesia, Anugerah Kertas Utama, Riau Prima Energi, Indokarya Bangun Bersama, Intiguna Primatama, dan Asia Prima Kimiaraya.
Dalam APRIL Sustainability Report 2019, disebutkan, APRIL memproduksi 2,8 juta ton Kraft dan bubur kertas, serta 1,15 juta ton kertas setiap tahun, dan wilayah ekspor di 70 negara. Sebesar 90% bubur kertas dan 75% kertas dieksepor ke wilayah Asia Pasifik. Wilayah perkebunan yang dikelola APRIL mencapai 448.639 hektar dengan pekerja sebanyak 8.397 orang dan 27.565 kontraktor.
* * *
Tentu saja, banyak lagi perusahaan Sukanto yang menarik dibahas. Misalnya, di Medan tempat kelahirannya, diketahui dia membangun Thamrin Plaza pada 1987 dan Uni Plaza di Jalan Irian Barat, Medan.
Dengan begitu, seberapa besar kekayaan Sukanto Tanoto? Versi media Forbes, kekayaan Sukanto Tanoto “hanya” US$1,4 miliar atau Rp19,4 triliun lebih (kurs Rp13.900/US$).
Bila itu benar, maka membeli aset mewah di luar negeri, tentu saja tinggal memetik jari. (*)
Perangkum/Penulis: Nirwansyah Putra