Jahiliah vs Renaisans

... masa-masa itu disebut jahiliah. Itulah masa kebodohan yang begitu kental, akut dan berkarat. Manusia-manusia dan kekuasaan yang hendak disadarkan, justru menjelma menjadi musuh yang garang.
Ilustrasi. [foto: indhie]

LAWANKANLAH kata renaisans dengan jahiliah. Maka, masa dark ages dan renaisans di Eropa akan terbayang seperti masa jahiliah sebelum datangnya pencerahan Rasulullah Muhammad SAW yang disusul revolusi di jazirah Arabia, Asia, Afrika hingga perbatasan Eropa, sesudahnya.

Sebagian besar menulis abad kegelapan Eropa ditandai dengan kejatuhan Empirium Romawi barat di abad ke-5. Bila itu dipakai, apakah bukan suatu kebetulan pula kalau keruntuhan itu terjadi menjelang lahirnya nabi di abad ke-6? Begitulah, supremasi Romawi kemudian tersisa di sebelah timur, Bizantium, yang ibukotanya adalah Konstantinopel atau Turki sekarang. Di masa al-Khilafah ar-Rasyidah nanti, kekuasaan itu kian mengerut karena sekitar dua pertiga wilayah Bizantium mulai dikuasai kekhalifahan. Tata dunia berubah.

Menjelang keruntuhannya, Romawi barat terus-menerus diserang oleh kelompok suku-suku bangsa yang lebih minor yang sering disebut “barbarian”. Namun agaknya, ini lebih pada sebuah pelabelan stigmatif dan pejoratif pada kekuatan sosial politik dan militer yang dinilai tidak beradab, primitif, dan tentu saja bodoh. Ada separasi yang terang antara yang “beradab” dan “barbar”. Sebuah pemetaan yang angkuh dari suatu kuasa superpower yang barangkali sangat jengkel karena dijatuhkan oleh bangsa yang “kecil”. Ada keengganan muhasabah, evaluasi dan kontemplasi internal, untuk mengakui bahwa bangsa adikuasa itu telah keropos dari dalam seperti kayu yang dimakan rayap.

Namun, jangan pula terlampau cepat beranggapan kalau kekeroposan itulah sebab utamanya. Itu justru akan semakin menegaskan bahwa Romawi memang begitu powerfull sehingga tak mungkin akan jatuh seandainya tidak lapuk di dalam. Inilah bibit pemikiran hegemonik yang akan menisbikan realitas kelompok di luar mereka telah memiliki kekuatan dan sumberdaya yang kukuh untuk menantang dominasi Romawi. Bila itu ditelan mentah-mentah, maka, bisa jadi, masuklah kita pada sebuah plot bahwa kemerdekaan negeri ini, juga, adalah “pemberian” kolonial yang sedang melemah dan dipuncaki adanya “pengakuan kedaulatan” Belanda di 1949.

Pemikiran hegemonik ala barat ini sampai pula ke hadapan kita hingga sekarang. Bahwa peradaban –plus kebudayaan dan segala produknya– baratlah yang paling unggul sehingga dia menjadi acuan untuk hampir di segala bidang yang disebut “modern” di dunia ini. Bahkan istilah “dark ages” yang mulanya lahir di Eropa, sudah mulai diragukan dan disanggah oleh intelektual mereka sendiri. Mengakui pernah terjerembab di kegelapan memang berat dan mungkin saja dianggap sebagai hal yang memalukan.

Namun, ya, itu urusan mereka.

* * *




Memang, sudah banyak yang mengeritik pencampuran antara globalisasi, westernisasi, dan kolonialisme-empirialisme. Apalagi, kemajuan teknologi dan informasi seperti sekarang ini seakan telah membuat dunia lebih borderless, sehingga semua bisa saling memengaruhi. Wilayah teritorial sudah dilihat dengan “usang”, sentral-periperal tak diminati, globalisasi-regionalisasi-lokalisasi dipertemukan dengan hibridisasi, dan seterusnya. Orang-orang tidak lagi tergantung pada hubungan ruang dan fisik.

Peminat kungfu tradisional China, misalnya Baji Quan, yang dulu terbatas di komunitasnya, kini sudah melampaui batas kewarganegaraan dan kebangsaan serta dikembangkan di negara-negara lain. Pabrik-pabrik dan merek yang menjadi simbol negara tertentu apakah kendaraan, garmen, makanan/minuman, mineral, dan lain-lain, telah pula berdiri di negara lain, memerkerjakan, dan tentu saja dipasarkan di negara-negara tersebut. Orang-orang di Timur Tengah dan Asia Barat sudah pula menyenangi drama Korea. Solidaritas dan ikatan manusia tidak lagi didasarkan pada benang kebangsaan, wilayah ataupun keturunan, melainkan melebar ke sesuatu yang sering dianggap “remeh”, seperti musik, film, lifestyle, olahraga, hingga pada, ah, mungkin saja kopi dan rasa es krim. Kalau Anda membenci drama Korea, maka bukan orang Korea saja yang akan mem-bully Anda, melainkan juga mungkin orang-orang di Amerika Selatan, Timur Tengah, Afrika, hingga di tengah kota dan pelosok desa di Indonesia. Jadi, di mana letak penjajahannya?

Namun, bukankah penjajahan yang mengkhawatirkan adalah penjajahan yang tidak kentara? Bukankah penjajahan yang mengerikan adalah saat yang dijajah hidup dalam ilusi dan tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah dan bahkan merasa begitu merdeka? Bahkan, mereka pun begitu marahnya saat diberitahu bahwa mereka sedang dijajah. Seperti juga kumandang adzan yang telah menjadi begitu menyakitkan di telinga-telinga mereka.

Begitu agaknya mengapa masa-masa itu disebut jahiliah. Itulah masa kebodohan yang begitu kental, akut dan berkarat. Manusia-manusia dan kekuasaan yang hendak disadarkan, justru menjelma menjadi musuh yang garang.

“Scientia potentia est,” eja Francis Bacon seperti ditulis asistennya, Thomes Hobbes, “Knowledge is power”. Dan beruntunglah mereka-mereka yang menguasai pengetahuan, para penggenggam cahaya. (*)


Nirwansyah Putra
[indhie]


Cari di INDHIE