Nirwansyah Putra
~ indhie
SEPERTI lebah. Sarangnya begitu teratur. Segi lima yang saling berdampingan. Ketika mereka mencari makan di luar, di kumpulan bunga-bunga, tak ada keributan yang terjadi. Mereka tak perlu ajaran soal antri. Tak ada pula kecemburuan ketika seekor lebah mendekati bunga yang sangat cantik dan berhasil menghisap nektar, dan lalu memproduksi madu yang begitu banyak.
Tidak ada yang merasa tidak adil ketika seekor lebah lainnya hanya mendapatkan madu dari bunga-bunga yang tak pernah dilirik manusia karena keburukannya; bunga-bunga yang tak pernah mendapatkan porsi di puisi-puisi manusia.
Mereka hidup dengan seekor ratu, yang memberi mereka jaminan regenerasi, eksistensi dan survivalitas di kemudian hari. Bila ratu sudah mulai melemah atau mati, maka secara alamiah mereka mencari telur terbaik dan setelah menetas diberi sari madu terbaik. Tak perlu memilih ratu seperti layaknya manusia selalu berbantah-bantah dan berdarah-darah saat suksesi pemimpin-pemimpinnya. Rumit benar. Semua tahu fungsi ratu. Tak ada bantahan. Lebah pun hidup terus seiring waktu berputar di atas muka bumi.
Tentu, lebah tidak mengenal demokrasi.
* * *
Pemilu adalah prosedur demokrasi, suatu tatanan yang masih menjadi kesepakatan sebagian umat manusia saat ini, termasuk kita di sini. Di situ, distribusi dan peralihan kekuasaan dipergilirkan dengan mekanisme yang diinginkan agar tidak berdarah-darah. Kemudian, substansi lainnya adalah rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan.
Namun, entah mengapa, pergeseran kekuasaan selalu rumit dan tak jarang berdarah-darah. Hal yang sama sekali tidak dimaui oleh demokrasi. Walau untuk hal ini, kita juga akan merasa bahwa demokrasi sungguh naif dan berwajah ganda. Ketika Amerika Serikat (negara yang mengklaim dan diklaim sebagai kampiun demokrasi) menginvasi Afghanistan dan Irak beberapa waktu lalu atasnama bendera demokrasi, maka sesungguhnya demokrasi sudah kehilangan maruah untuk terus-menerus dipuja-puja.
Indonesia pun sudah punya pengalaman buruk soal demokrasi yang melenceng ini.
Memang, substansi yang diinginkan oleh demokrasi itu, seperti keadilan kekuasaan, bukanlah monopoli ajaran dalam demokrasi. Sebelum demokrasi disebut, hal-hal seperti keadilan, perdamaian dan moralitas, sudah menjadi makanan sehari-hari umat manusia.
Tapi demokrasi kita sendiri bagaimana? Saya sendiri ragu apakah maksud sila ke-4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, benarkah memang seperti demokrasi dalam perspektif Eropa, Amerika dan negara-negara lain? Sukarno sendiri merasa tidak cocok, kok, dengan demokrasi liberal. Tapi, pilihannya soal “demokrasi terpimpin”, toh, juga tidak disetujui rakyat.
Nah saat ini, rasa-rasanya kata “permusyawaratan” itu seperti hanya dapat dilihat di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) semata. Sementara kata “perwakilan” ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sudah, itu saja.
Makanya, justru aneh ketika musyawarah –sebagai kata dasar dari permusyawaratan—tidak terlihat dalam MPR (di mana DPR dan DPD menjadi anggotanya) saat kondisi bangsa sedang terbelah, sebelum dan sesudah Pilpres 2019 ini. Apakah ini memang bukan masalah yang perlu dimusyawarahkan? Atau jangan-jangan MPR sudah dan sedang menganggap Indonesia sedang tidak bermasalah apa-apa?
Sebagian memakai kata “rekonsiliasi” dalam pertemuan-pertemuan politik ini. Dan lagi-lagi, kalaupun kita setuju dengan pemakaian kata “rekonsiliasi” itu, toh, bukankah pertemuan itu harusnya menjadi hajatan MPR. Lembaga permusyawaratan di negeri ini, ya, cuma, MPR.
Aneh betul. Belum lagi kalau kita mengingatkan bahwa frasa “hikmat kebijaksanaan” dalam sila ke-4 itu merupakan pemimpin dari model kerakyatan yang kita sepakati dalam bernegara. Di mana “hikmat kebijaksanaan” itu berada saat ini, ya? Sudah seperti apa bentuknya?
Dus, bila kita sudah benar-benar kehilangan “hikmat kebijaksanaan”, apakah kita harus bertanya pada sang Ratu Lebah? (*)