
SIAPA di antara kita yang tidak pernah membual? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, hanya ada seorang saja di muka bumi ini yang diberi gelar oleh masyarakatnya sebagai “al-Amin”; orang jujur, amanah, dan karenanya terpercaya. Kita sama-sama tahu beliau siapa: Muhammad al-Mustafa, seorang yang terpilih, the chosen one. Allahuma shalli ala Muhammad, wa ali Muhammad.
Biasanya, gelar lebih pada klaim sepihak, dari dirinya sendiri, dari kelompok pendukung ataupun penentangnya. Beliau tidak. Dia disematkan oleh masyarakat yang tahu benar mengenai dirinya. Jenis masyarakatnya ini pun khas pula. Itu adalah masyarakat jahiliah; sebuah era kebodohan yang menggumpal, penipuan yang begitu digdaya, intimidatif, di mana kezaliman dan kesewenang-wenangan berkembang biak begitu suburnya. Inilah masyarakat yang memerturutkan ide bahwa manusia adalah segala-galanya, dan karena itu bebas dan boleh berbuat apa saja. Penipuan, perbudakan dan kezaliman telah direkayasa dengan pembenaran terhadapnya, diamini berhala melalui khutbah pendeta berhala-berhala itu. Sebuah pembualan besar-besaran.
Masyarakat awam yang tak punya kuasa, terpaksa ikut dalam bualan itu dan lama-kelamaan membenarkannya pula. Bualan-bualan telah tumbuh sebagai kebenaran otoritatif dan tak ada pula yang punya kuasa menyingkap bualan itu. Selain tak punya kuasa politik dan ekonomi, kasta rendah umumnya memang tak diberi kepantasan untuk memancarkan sinar kebenaran. Pengetahuan adalah milik dan dimonopoli elit.
Pengetahuan itu wajib pula diejawantah melalui struktur bahasa yang ditinggi-tinggikan dan disuci-sucikan. Karena itu, semakin bahasa itu tidak dimengerti awam, maka dianggap semakin tinggi pulalah kandungan pengetahuannya. Bahasa awam diposisikan bukan sebagai bahasa pengetahuan. Pada abad ke-17, pernah terjadi penolakan penerjemahan Pharmacopoeia Londinensis (1618) yang berbahasa Latin ke dalam bahasa Inggris. Waktu itu, Latin merupakan bahasa elit kaum terpelajar di Eropa.
Demikianlah, setelah pengetahuan, maka berbahasa telah pula menjadi salah satu tanda elit.
* * *
Dus, yang paling sering membual, tentu saja mereka yang telah memiliki kuasa atas bahasa. Seiring itu, kian tinggi pulalah kedudukan penerjemah dan penafsir bahasa. Karena, hanya para pendeta berhala-berhala jahiliah itulah yang dianggap mampu dan dibolehkan memahami “diamnya” berhala-berhala itu. Diamnya berhala lalu dianggap sebagai sebuah kelaziman bagi awam. Karena, bukankah sesuatu yang besar dan disucikan, tidaklah akan mungkin berbicara dengan kaum jelata dan berbahasa awam yang rendah yang hidup dalam kubangan? Mereka pun menyembah berhala itu.
Jangan lupa, para pendeta berhala itu memeroleh akses dan kedudukannya bukanlah karena mereka memang suci ataupun memiliki kemampuan bahasa. Para pembual itu sama-sama paham, diamnya berhala itu adalah diam yang sesungguhnya. Pendeta dan tukang sihir Fir’aun paham benar kalau sihir mereka adalah palsu. Berhala sejatinya memang tak pernah dan tak mampu berfirman. Merekalah yang membuatnya mempunyai kuasa nan sakral. Dengan demikian, kedudukan para pendeta berhala itu ada yang mengatur. Tentu saja bukan si dewa yang bisu tadi, melainkan sosok yang meneken “surat keputusan” pengangkatan pendeta berhala. Inilah pembual yang merekayasa struktur religi pada kekuasaannya. Inilah biang pembual itu.
Dalam masyarakat yang sudah terbiasa dan dibiasakan membual itu, kemunculan al-Amin adalah keterperangahan sekaligus sebuah kerinduan akan kejujuran. Mereka tahu kejujuran membutuhkan keberanian dan kemurnian. Mereka teringat sewaktu anak-anak dulu. Jiwa anak-anak begitu murninya sehingga kebohongan tak pernah ditemukan di awal-awalnya. Namun, tak ada jaminan mereka akan terus jujur seiring bertambahnya umur, pengalaman dan kemampuan berbahasa mereka. Karena itu, sosok yang terus menjaga kejujuran, tentulah istimewa.
Dengan derajat kejujuran paripurna itu, maka sesuatu yang telah atau akan keluar dari lisannya tentulah suci pula. Karena sesuatu yang suci tidaklah mungkin akan keluar dari mulut yang pernah membual, meski sepatah. Bahasa yang tadinya begitu elitis, kini merdeka dari manipulasi sehingga awam dapat memahami dengan jelas dan terang.
Awam pun merasa dirinya begitu dihargai dan dihormati dengan bahasa yang suci itu. Zat yang suci bukan saja telah berdialog dengan mereka melainkan melindungi dan menyayangi mereka. Berhala berikut pendetanya telah hancur.
Sebaliknya, bagi biangnya para pembual, kejujuran tentulah ancaman. (*)
Nirwansyah Putra
[indhie]