PERISTIWA Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu titik berdarah dalam sejarah Indonesia. Fitnah, agitasi dan propaganda, berikut aksi-aksi sepihak Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dirasakan langsung oleh masyarakat di lapisan bawah sebelum peristiwa itu, telah membuat masyarakat berhadap-hadapan secara langsung dengan PKI sebelum dan sesudah peristiwa itu meledak.
Situasinya serba hitam putih, PKI vs Non-PKI. Kelompok-kelompok agama dan institusi negara seperti Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) menjadi musuh terbesar PKI. Dengan jumlah anggota terbesar, maka kelompok Islam tidak hanya menjadi lawan utama kelompok PKI dan underbow-nya, melainkan juga menjadi target sasaran utama PKI baik di tingkat elit tokoh maupun di masyarakat lapisan bawah.
Di satu sisi, TNI AD telah menjadi rival utama PKI dalam pertarungan di tingkat elit politik baik di pusat Jakarta maupun daerah. PKI telah paham lama kalau AD mempunyai kekuatan powerfull dalam kekuasaan Sukarno. Hal mana juga bukan tanpa sebab.
Sukarno mengesahkan UU No 74 Tahun 1957 tentang Pencabutan Regeling Po de Staat van Oorlog en Beleg (SOB) dan Penetapan “Keadaan Bahaya” pada 30 Oktober 1957 dan diundangkan pada 17 Desember 1957. Sukarno menjadi Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) sedangkan Kepala Staf TNI AD waktu itu, AH Nasution, menjadi Penguasa Perang Pusat (Peperpu). Itu disusul dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dibacakan Sukarno di Istana Negara dengan dihadiri seluruh panglima militer angkatan. Lalu UU Keadaan Bahaya 1957 dicabut melalui Perpu No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya pada 16 Desember 1959 . Kebijakan-kebijakan itu membuat kekuasaan politik Presiden dan militer begitu kuat.
Di sisi lain, PKI telah naik menjadi kekuatan utama politik Indonesia sejak Pemilu 1955. Sebelumnya, 7 September 1949 , atau kurang lebih setahun setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintah melalui Menteri Kehakiman Soesanto membolehkan PKI melanjutkan aktivitas kepartaian. Keputusan ini didahului oleh persetujuan oleh sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). PKI bahkan mendapat jatah kursi di DPR Sementara pada 15 Februari 1950. Dalam Kongres PKI 1951, Aidit ditunjuk sebagai Ketua PKI. Lukman dan Nyoto sebagai pendamping.
Seiring status bahaya dikurangi bertahap dan kemudian dicabut, maka PKI kian unjuk gigi. Praktis, di kekuasaan terpusat yang mutlak berada pada diri Sukarno sebagai Presiden, TNI AD dan PKI saling berhadap-hadapan.
Dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan 1966; Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970 (2006, 38-39), diperoleh informasi bagaimana situasi konflik PKI dan tentara (AD), hingga kemudian peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Demikian kutipannya:
“Dalam berbagai peristiwa, di beberapa daerah, tentara (AD) berkali-kali harus berhadapan dengan PKI. Di tahun 1961, bulan Nopember, terjadi Peristiwa Jengkol di Kediri. Ketika itu terjadi masalah dengan petani penggarap (tanpa izin) di atas tanah pemerintah miliki Perusahaan Perkebunan Negara, karena tanah itu sudah akan digunakan pihak perkebunan. Para petani penggarap telah diberi tanah pengganti dan sejumlah uang pesangon. Tatkala tanah yang sudah dikosongkan itu mulai diolah dengan menggunakan traktor oleh pihak perkebunan, kurang lebih 3000 massa dari desa lain yang adalah anggota BTI (Barisan Tani Indonesia), Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) datang menyerang. Sejumlah petugas dan massa rakyat terluka dalam bentrokan. Komandan Korem yang membawahi wilayah tersebut kemudian mengambil keputusan untuk membekukan ketiga organisasi di tingkat wilayah tersebut. Keputusan ini selanjutnya meningkat menjadi keputusan tingkat Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jawa Timur. Tindakan pembekuan ini dianggap oleh CC PKI sebagai tindakan yang berlebih-lebihan dari pihak militer.
Benturan-benturan serupa masih terjadi pada masa-masa berikutnya, terutama ketika PKI melalui organisasi-organisasi mantelnya gencar melancarkan aksi-aksi sepohak terkait dengan UUPBH (Undang-undang Pokok Bagi Hasil) dan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Dengan maraknya aksi-aksi sepihak seperti itu, PD Presiden Johannes Leimena, 15 Juni 1964, mengeluarkan Instruksi Pd Presiden yang melarang dilakukannya aksi sepihak oleh pihak manapun. Meski ada larangan seperti itu, Konferensi I PKI pada 5 Juli justru melahirkan resolusi yang menyerukan untuk membantu aksi-aksi sepihak kaum tani yang ‘adil patriotik dan Manipolis’ untuk mengkonsekuenkan UUPBH dan UUPA. “Aksi-aksi revolusioner kaum tani yang sedang berlangsung sekarang adalah tidak lain daripada akibat aksi sepihak reaksioner tuan tanah jahat yang mensabot pelaksaan UUPBH dan UUPA”. Kala itu, yang dituduh PKI sebagai tuan tanah terutama adalah para haji kaya di pedesaan yang memiliki tanah-tanah luas dan sejumlah jenderal atau perwira lainnya yang menginvestasi ‘hasil korupsi’nya dalam bentuk pembelian tanah-tanah perkebunan dan pertanian yang luas. Resolusi PKI itu juga menggunakan pidato Presiden yang berjudul Gesuri (Genta Suara Revolusi Indonesia), bahwa massa harus melakukan revolutionnaire gymnastiek karena walaupun perbaikan nasib rakyat boleh merupakan ‘hadiah’ dari atas, namun pada prinsipnya tetap harus merupakan hasil perjuangan rakyat sendiri. Kaum revolusioner tak boleh sekedar menadahkan tangan, melainkan harus menggerakan tangannya untuk merebut. Dukungan terbuka dari pusat partai seperti itu, dengan sendirinya memicu peningkatan aksi-aksi sepihak untuk pemerataan kepemilikan tanah bagi rakyat. Bisa dicatat peristiwa-peristiwa aksi sepihak di Indramayu Jawa Barat dan Boyolali Jawa Tengah, berturut-turut di bulan Oktober dan Nopember 1964. Aksi sepihak yang berdarah terjadi dalam peristiwa Bandar Betsi di Siantar Sumatera Utara bulan Mei 1965. Seorang anggota TNI, Pelda (Pembantu Letnan Dua) S. Soedjono – bersama Pembantu Letnan Satu Pura, Kasim Saragih dan Karna – yang sedang mengawal pekerja perkebunan milik negara setempat di afdeling V blok 325 untuk menarik sebuah traktor yang terperosok di parit, dikeroyok oleh kurang lebih 200 orang massa BTI dan Pemuda Rakyat. Massa menghalang-halangi pekerjaan menarik traktor itu dan melontarkan kata-kata pedas menghina para anggota TNI itu yang menyebabkan bentrokan fisik. Pelda Soedjono, yang memiliki 8 anak dari seorang istri, menurut siaran pers Departemen Perkebunan RI, tewas seketika setelah kepalanya dihempas dengan cangkul petani militan.”
Kurang lima bulan setelah aksi kejam PKI pada 14 Mei 1965 itu terjadi di Sumatera Utara, penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD pun meletus di Jakarta pada 30 September 1965. (*)
BACA JUGA: