Di antara, gemerlap kehidupan kota
Udin kecil, hanyut di dalam impiannya
dia terbuai, dia tak mampu menggapainya
Di antara, gemerlap kehidupan kota
si Boy kecil hanyut membeli impiannya
dia terbuai, dia tertawa
Karena semua didapat tinggal meminta
…
Di antara, gemerlap kehidupan kota
Udin kecil coba paksakan impiannya
benak menghitam, pisau digenggam, siap menikam
Di antara gemerlap kehidupan kota
si Boy kecil coba hamburkan impiannya
coba yang hitam, Membakar uang
turun ke jalan menjual nama bapaknya
Kita hidup bersama mereka
Kita hidup bersama mereka
* * *
Lirik lagu Gemerlap Kota dari Slank dari album “Minoritas” (1996), kelihatannya pas menjadi sketsa politik Indonesia saat ini. Anak-anak orang kaya dan anak yang punya darah biru karena bapak atau mertuanya menjadi penguasa, masuk dalam gelanggang politik. Politik adalah kekuasaan. Tidak ada motif lain selain menjadi penguasa.
Bagi mereka-mereka ini, tidak cukup hanya punya uang banyak. Uang tidak dipandang sebagai tumbuh-tumbuhan semata karena pertumbuhannya sifatnya lebih evolutif. Tidak juga seperti lembu yang selalu ingin mengunyah sesuatu namun tak bisa memakan daging. Tidak juga seperti babi yang terus merasa lapar dan mampu memakan semua, omnivora. Tidak, karena babi tidak berada di level teratas dari piramida rantai makanan.
Untuk memenuhi hasrat liarnya itu, dia harus menjadi sosok yang lebih garang, menguasai segalanya. Dia harus seperti raja hutan dan rimba: singa atau harimau, si pemakan omnivora seperti babi, si pelahap herbivora seperti lembu.
Politik dipandang sebagai ladang baru untuk stabilitas keuangan dalam jangka panjang. Ladang yang bisa dinikmati tujuh, sembilan hingga seribu turunan. Ladang politik berjalin dengan ladang duit. Dia berkelindan. Dan itu artinya ada perkawinan yang disengaja antara struktur modal dengan kuasa politik. Artinya, stabilitas uang dan modal hanyalah satu perkara awal dari perkawinan antara raksasa dengan monster.
Kuasa dalam hal institusi politik berarti kendali atas wewenang, aparatur, birokrasi, jaringan, wilayah hingga anggaran. Hubungan yang semula relasi menjadi korelasi karena antara keduanya menjadi mutual, saling menguatkan dan menguntungkan. Menjadi sebuah himpunan yang baru. Maka, perputaran arus modal yang biasanya terjadi dalam dua kantong, dikumpulkan dalam satu kantong besar. Tak heran, dalam karikatur-karikatur ekonomi politik maupun politik ekonomi, penguasa dan pengusaha selalu digambarkan dalam sosok yang bertubuh besar, buncit dan mulut yang memuncratkan ludah. Karikatur-karikatur itu menggambarkan sebuah ketamakan nan luar biasa.
* * *
Dalam lagu Slank di atas, dengan kekuatan uangnya, si Boy sudah dibiasakan mudah menggapai apa yang dia mau. Dia bisa membeli, dibuai-buai dan tertawa berketerusan karena semua didapat tinggal meminta. Dia mampu membakar uangnya yang tak berseri. Dia, terutama, dengan santai “menjual nama bapaknya”.
Sosok kontras dalam lagu itu adalah si Udin, si kecil yang miskin dan tertindas, kalah dalam hal apapun. Kesenjangan itu sedemikian dalam, jurang tak bertepi. Si Boy hidup dalam kesombongan khas kaum borjuis dan si Udin yang penuh dengan ketidakmampuan. Singkat cerita, kedua sosok ini bertemu dalam suatu konflik: si Boy tewas dan Udin masuk penjara. Khas marxian dalam melihat sejarah: pertempuran antar kelas; antagonis dan oposisional.
Sayangnya, cerita justru tak berakhir. Kelas elit bukanlah kelas yang mau begitu saja dibombardir para proletar. Jangankan memusnahkan, memborbardir ataupun mengkritik kelas elit, bahkan usaha untuk memersamakan impian dengan mimpi kelas elit saja adalah terlarang, barang haram.
Lihatlah elit-elit feodal yang diciptakan kerajaan Belanda dan kompeni VOC-nya di perkebunan-perkebunan yang dulu melipir di tanah Sumatera. Layaknya budak-budak jajahan, taklah patut kuli-kuli kebun berwajah cekung dan berparas pucat duduk bersama dengan staf, manejer, direksi apalagi londo-londo berperawakan tinggi besar, berkulit putih, dan bersih. Kuli berupah rendah namun harus berkerja siang dan malam. Kita pun harus ragu benar; tepatkah kata “upah” dan “kerja” disematkan pada mereka? Jangan-jangan, yang didapat hanyalah rimah para londo…
Perkawinan antara kerajaan dan perusahaan di Belanda, telah membekas dalam di kawasan Medan ini. Kota yang flamboyan, tempat para londo-londo putih kaya raya dari perkebunan berdansa dan meminum brandy, memerkosa dan menindas kaum pribumi, jelata, miskin, mustdha’afin.
Begitulah. Elit-feodal-kapitalis akan melahirkan penerusnya yang sudah ditimang berlian sejak bayinya, dibesarkan dalam pagar-pagar jati nan mahal, dikelilingi pengawal berwajah bengis, dan disekolahkan dalam ruangan berdinding marmer. Lalu, mereka akan dinikahkan dengan sebuah perhelatan yang wajib disaksikan oleh seluruh warga kota. Diarak keliling kota dengan kereta kencana.
Dan praktik itu berulang ketika si anak orang kaya berkuasa tadi memeroleh keturunan, menimang cucu. Lagi, lagi, dan lagi, terus hingga seribu turunan.
Si anak orang kaya dan cucunya tadi, suatu saat akan berkata dengan wajahnya yang manis seperti tebu: “Mari kita berkerja bersama-sama sehingga kita semua dapat lebih sejahtera.” Si rakyat yang berwajah cekung berparas pucat pun tersenyum sejenak. Lupa beras catu sudah menipis. Lupa, mereka bukan lagi berposisi sebagai rakyat pemilik kedaulatan, melainkan telah dan akan terus menjadi barisan kuli untuk si anak dan cucu orang kaya dan berkuasa itu. (*)
Nirwansyah Putra
~ indhie