DPRD Sumut Minta Pemerintah Pusat Cabut Izin PT Dairi Prima Mineral

PT Dairi Prima Mineral

MEDAN | Komisi A DPRD Sumut meminta Pemerintah untuk mencabut izin pertambangan timah hitam PT Dairi Prima Mineral (DPM) di hutan lindung Kabupaten Dairi, karena tidak memberikan manfaat besar terhadap masyarakat di daerah itu.

“Pertanyaannya, Pemkab Dairi dan masyarakatnya memperoleh apa? Kalau tidak mendapat manfaat, lebih baik Pemerintah mencabut izin pertambangan perusahaan tersebut. Kembalikan saja fungsi hutan itu sebagai hutan lindung,” kata Ketua Komisi A DPRD Sumut, Muhri Fauzi Hafiz, Ahad (4/8/2019).

Untuk diketahui, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMs) menjual kepemilikan 51% saham anak perusahaannya PT DPM kepada China Non-ferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co Ltd (NFC China) senilai US$198 juta (Rp 2,87 triliun, kurs Rp 14.500/US$). Duit China itu kemudian juga dipergunakan untuk membeli 20% saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) di DPM. Dengan demikian, kepemilikan di DPM adalah China 51% dan BRMs 49%. Di Dairi ini, DPM menambang seng dan timah hitam di luas area konsensi sebesar 27.420 hektar.



Menurut Muhri, keberadaan usaha pertambangan, seharusnya memberikan kontribusi terhadap masyarakat di sekitarnya, baik itu manfaat ekonomi, manfaat sosial dan manfaat lainnya. “Saat ini, muncul penolakan di tengah-tengah masyarakat. Berarti, keberadaan PT DPM tidak memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat,” ujarnya.

Muhri Fauzi, mempertanyakan dasar instansi terkait memberikan rekomendasi terkait lahirnya izin tersebut. ”Seharusnya, sebelum memberikan rekomendasi dan mengeluarkan izin, instansi terkait mengacu dulu aturan induk, peraturan dan perundangan yang berlaku, yakni konstitusi negara,” kata Muhri sambil menyebut Pasal 33 UUD 1945.

Muhri juga mengkhawatirkan terjadinya kerusakan akuifer air tanah di kawasan tersebut. Apalagi di areal tambang merupakan hutan lindung, yang berarti merupakan hutan penyangga kehidupan.

“Meskipun PT DPM disebutkan akan melakukan pertambangan dengan melakukan penambangan bawah tanah, namun tidak menjamin terlindunginya akuifer air. Saya khawatir akuifer air bakal mengalami kerusakan, sehingga melahirkan penderitaan terhadap ekosistem dan masyarakat setempat”, ujarnya.

Selain itu, Muhri Fauzi mengakui mendapat laporan banyaknya tenaga kerja asing di lokasi pertambangan. “Seperti apa keberadaan tenaga kerja asing di kawasan itu. Siapa yang bertanggungjawab terhadap keberadaan mereka?” tanya Muhri. (*)

Cari di INDHIE

Be the first to comment

Leave a Reply