Hujan Lalu, Hujan Kini, Hujan Nanti

... hujan sudah lebih dulu hadir dari manusia di bumi ini. Tidakkah manusia malu?
Anak-anak bermain di bawah hujan di India. [foto: travelsiteindia]

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, 1989)

* * *

Di Jakarta, Surabaya, Medan, dan entah di mana lagi, hampir-hampir (atau jangan-jangan) orang-orang (telah) akan mengutuk hujan karena prasangka: kausalitas antara hujan dan banjir. Duhai, semoga prasangka itu tidak menular seperti Coronavirus.

Apa hubungan langsung antara hujan dan banjir? Jika hujan menyebabkan banjir, mengapa tuduhan tidak dialamatkan juga kepada gumpalan awan mendung? Jika gumpalan awan menyebabkan hujan, mengapa kutukan tak dituduhkan ke lapis atmosfer yang menggantung awan? Bila lapis atmosfer juga hendak dirajam, mengapa kau tak menyalahkan matahari yang telah merebus air di muka bumi sehingga lahirlah uap-uap air?

Di era di mana ilmu pengetahuan dan ilmuwan telah berdiri congkak menantang kumpulan ajaran-ajaran agama mengenai ketuhanan, orang-orang di perkotaan justru dihadapkan pada kekhawatiran terhadap awan hitam, terhadap hujan. Hujan dikerangkeng dalam posisi sebagai biang kerok banjir.



Banjir memang suatu fenomena yang menggelisahkan dan menakutkan. Ada semacam trauma mendalam. Seperti, tenggelamnya dunia di masa Nabi Nuh dulu. Kisah itu bertahan ribuan tahun dan kemudian diabadikan dalam kitab suci yang abadi. Kisahnya membayang dan mentradisi.  Rumah, sawah, lalu kini perkantoran dan pusat bisnis, terendam dan tenggelam dalam air.

Pekerjaan terhenti, keuntungan tersendat karena kapital tak berputar, dan lebih dari itu, nyawa menjadi taruhan. Bila manusia diposisikan sebagai alat produksi, maka kehilangan nyawa manusia bukan lagi sebuah tragedi, melainkan kerugian modal. Dalam labirin kapitalisme, itu merupakan hal haram.

Dari sisi itu, kalaupun hujan dianggap tak menyebabkan banjir, maka hujan akan dianggap sebagai penghalang bagi produktifitas manusia-manusia pekerja. Hujan memaksa orang-orang menghentikan kegiatannya sejenak. Di dalam sebuah perkantoran, mungkin aktivitas akan tetap berjalan, tapi arus distribusi yang melibatkan manusia tetap terpengaruh.

Seorang kurir yang memakai sepeda motor akan menepi. Seorang supir mobil akan harus memikirkan dokumen yang dibawanya tak basah dan tetap kering karena dia tak mau tinta di salah satu angka nol dalam dokumen itu hilang. Seorang yang berjanji akan bertemu klien di sebuah hotel, mungkin akan tiba dengan nyaman dengan mobilnya. Tetapi, klien yang ditunggunya itu, yang memakai mobil juga, tak kunjung datang karena terjebak kemacetan di sebuah ruas jalan. Dia terhalang sebuah mobil dan sepeda motor yang harus bersenggolan karena jalanan yang licin. Akibat hujan.

Hujan pun menjelma menjadi sebuah alasan. Alasan yang dilontar berulang-ulang. Lantas, dia menjadi mitos yang tak mengenakkan. Mitos yang dikumpul dari kekesalan sejumput manusia.

Padahal, hujan sudah lebih dulu hadir dari manusia di bumi ini. Tidakkah manusia malu? (*)


Nirwansyah Putra
~ indhie


Cari di INDHIE

2 Trackbacks / Pingbacks

  1. Campurkan yang Empat Alam, Hancurkan di Laut Dalam – indhie
  2. Daring – indhie

Leave a Reply