MEDAN | Isu pemindahan Ibukota Indonesia mengemuka. Ibukota Indonesia yang baru direncanakan terletak di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.
Mengkritisi itu, Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar menyatakan, rencana pemerintah pusat dalam pemindahan ibukota Indonesia terkesan inkonsisten (tak serasi). Bahkan konsepnya dianggap tak matang dan terkesan terburu-buru.
Hal itu dinilai dari proyek pembangunan infrastruktur kereta api cepat Bandung-Jakarta yang digadang-gadangkan Jokowi beberapa waktu lalu. Menurut Shohibul, pembangunan tersebut menjadi akses cepat bagi masyarakat Bandung untuk menuju ibukota, atau sebaliknya. Meski belum rampung proyeknya, bagi Shohibul itu menandakan sebuah sikap ‘tidak taat asas’ dari pemerintah pusat untuk memindahkan ibukota. Karena dana pembangunan jalur kereta cepat itu akan sia-sia jika sejak awal ibukota akan dipindahkan.
“Terasa ada inkonsistensi dalam rencana itu. Jokowi memburu pengerjaan jalur kereta api supercepat Bandung ke ibukota, belum rampung malah mau meninggalkan Jakarta,” kata Shohibul, Senin (26/8/2019) sore.
Lalu, slogan pemerataan infrastruktur ala Jokowi juga tak sesuai idealismenya. Itu inkongruens. Sebab, faktanya pembangunan infrastruktur bersifat neoliberalisme, yakni menitikberatkan pembangunan di sektor-sektor yang dianggap penting dan menguntungkan pemerintahan, dan tidak memberi manfaat langsung kepada rakyat kecil, khususnya penduduk miskin.
“Retorika yang digunakan selalu pemerataan pembangunan, padahal filosofi dan perilaku pembangunan Indonesia bersifat neolib. Banyak paradoks yang terjadi di Indonesia selama ini, antara lain bagi-bagi sertifikat tanah, padahal 74 persen lahan dikuasai warga paling istimewa, dan hanya oleh 0,2 persen dikuasai rakyat kecil,” tuturnya.
Dan juga, Presiden Joko Widodo juga belum membicarakan hal tersebut kepada DPR RI. Itu terkesan prematur, dan terlalu dini untuk memindahkan ibukota tanpa adanya hal-hal darurat yang mengharuskan pindahnya pusat kekuasaan negara. “Hingga kini setahu saya belum ada pembicaraan presiden dengan DPR menandakan bahwa rencana itu belum matang,” ungkap Shohibul.
Shohibul tak lupa memberi saran bagi pemerintah, agar orientasi pembangunan lebih merakyat, tak hanya dalam retorika. Jika pemindahan ibukota ke Kalimantan diwujudkan, hendaknya pemerintah menghitung cermat keuntungan yang akan diraih dari hal itu, dan tidak sepihak yang malah merugikan rakyat.
“Jika pun nanti jadi pindah harus dihitung cermat apakah akan hanya menguntungkan segelintir orang yang sejak lama sudah menguasai lahan di sana. Siapa saja mereka? Perpindahan bandara dari Polonia ke Kualanamu juga sama, siapa pemilik lahan eks bandara Polonia sekarang, dan siapa pemilik lahan sekitar bandara Kualanamu,” sarannya.
Di akhir wawancara, Shohibul menegaskan, dalam konstitusi, alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan bernegara adalah “melindungi segenap tumpah darah dan seluruh bangsa Indonesia.” Karena itu, seharusnya pemerintah mendekatkan pembangunan kepada rakyat kecil, bukannya korporat.
“Karena itu jangan seret-seret rakyat ke pembangunan, melainkan dekatkanlah pembangunan kepada rakyat agar mereka terlindungi dan sejahtera. Semestinya. Jangan pula memaksakan tak ada uang, hutang ke sana ke mari. Atau diserahkan kepada swasta. Swasta itu tidak selalu memikirkan rakyat demi keuntungan finansial bagi dirinya. Jangan nanti rakyat yang menderita karena pembangunan,” tegas Shohibul. (*)
Laporan: Bolang

Leave a Reply