Kota Medan di Mata Tan Malaka

Tan Malaka di Medan antara Desember 1919 sampai Juli 1921. Dari Penang menuju Jawa, Tan Malaka singgah lagi di Medan, pada 1942.
Balai Kota Medan (kiri, foto: nationaalarchief.nl) dan Tan Malaka (kanan, foto: buku Dari Pendjara ke Pendjara/wikipedia)

KOTA Medan bukanlah sebuah kota yang asing bagi Tan Malaka. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dia diketahui pernah bekerja di perkebunan Sanembah, Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Tan Malaka di Medan antara Desember 1919 sampai Juli 1921. Selain mengajar, dia juga menulis penderitaan para pekerja perkebunan di sana.

Dalam buku autobiografi Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara, yang pengantarnya ditulis Tan pada September 1947, Tan kembali lagi ke Medan setelah 20 tahun meninggalkan kota itu. Waktu itu, dia singgah di Medan dalam perjalanan dari Penang, Malaysia dan akan menyeberang ke Pulau Jawa. Itu terjadi pada tahun 1942.

“Pada kira-kira pertengahan bulan Mei 1942, kami akhirnya bertolak dari Penang dengan sebuah tongkang kepunyaan dan dikemudikan oleh orang Tionghoa dan disewa oleh Kongsi kapal Indonesia tadi,” tulis Tan Malaka.

Menurut Tan, kapal mereka terapung-apung kurang lebih 20 hari di Selat Malaka. “Baru pada tanggal 10 (?) Juni kami bisa masuk ke pelabuhan Belawan. Setelah pemeriksaan oleh Polisi INdonesia di bawah pengawasan Jepang selesai, maka besok harinya kami berangkat ke Medan,” demikian Tan Malaka mengisahkan.

Balai Kota Medan tempo dulu. [Foto: nationaalarchief.nl]
Apa komentar Tan Malaka tentang Kota Medan? Berikut beberapa penggalan tulisannya:



“Kota Medan bolehlah dikatakan kota yang amat teratur bagi seluruhnya Indonesia. Rumah batu tiadalah boleh didirikan di sembarangan tempat, melainkan pada tempat yang sudah ditentukan lebih dahulu, menurut rencana. Sebab itulah kita tiada menyaksikan yang baru di samping yang usang, yang bersih indah di sampingnya yang kotor bobrok seperti di Ibu kota Jakarta umpamanya. Lihat sajalah di Ibu kota Indonesia ini. Wilayah Menteng dengan jalan bersih dan gedung modern dengan kebonnya, yang umumnya didiami oleh orang kaya asing, berada di samping Kebun Sirih dengan rumah kecil, kotor, bocor-gelap yang berdempet-dempetan di pinggir selokan tempat mandi, berkumur-kumur dan… buang air besar dan kecil; rumah-rumah yang panas di musim panas dan tenggelam di musim hujan, sehingga kamar mandi dan perigi menjadi satu dengan kakusnya dan berada di tengah-tengah kota pula.

Pasar di Medan amat modern, bersih, besar dan cukup memenuhi syarat kesehatan. Los dan atap yang indah permain bikinannya, memberi perlindungan yang segar kepada para pembeli dan penjual. Bagian tempat penjualan makanan, minuman, daging dan buah-buahan teratur dengan rapi. Tak ada di Malaya ataupun di Jakarta pasar yang bisa menandingi pasar Medan tentang keindahan dan kebershan. Pasar ini tidak saja menarik hati, karena kebagusannya, tetapi pula karena kepentingannya buat penghidupan beberapa teman saya.

….

Perusahaan Indonesia di Kota Medan ada mengambil bagian di antara perusahaan asing. Yang ternyata benar hasil usaha bangsa Indonesia di Medan ialah dalam hal percetakan. Banyak percetakan buku dan surat kabar di Medan yang dimiliki, diurus dan dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sepintas lalu, terlihat lebih banyak dan lebih besar perbandingannya dan perusahaan percetakan Indonesia di lain-lain kota. Selainnya daripada tokok-toko buku yang teratur rapi, banyak pula terdapat di tepi-tepi jalan penjualan “secondhand books” (buku usang). Tempat ini selalu dikerumuni pemuda yang ingin membaca dan membeli.”

Tan Malaka tak lama berada di Kota Medan waktu kedatangannya di 1942 itu. Kurang lebih seminggu. “Setelah itu, dengan beberapa bekas murid yang tinggal di Pematang Siantar saya akhirnya bertolak menuju ke Bukit Tinggi, melalui Sibolga,” tulis Tan Malaka. (*)


Sumber: Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka, [1947] 2017.

Cari di INDHIE

Be the first to comment

Leave a Reply