Bongak

Margaretha Geertruida "Margreet" MacLeod Zelle, mahsyur disebut Mata Hari. Seorang penari dari Belanda yang ditangkap karena dituduh sebagai mata-mata Jermah selama Perang Dunia I.
[foto: Bettmann/Getty Images/Time]


Nirwansyah Putra
~ indhie


Kebohongan tak hanya identik dengan sifat manusia. Hewan juga pandai melakukannya.

Misalnya ular dan buaya yang ketika akan memangsa makanannya, mampu membohongi calon korbannya. Dia mungkin akan mendekati korban diam-diam, lalu berdiam diri, seakan-akan tak berdaya, seakan-seakan tak mempunyai indikasi apapun untuk melahap si korban. Ketika si korban lengah atau silap, ternyata si korban telah masuk perangkap ular dan buaya. Hewan lain seperti bunglon dapat menyamarkan kulitnya, kamuflase, sehingga calon korban tak sadar bahwa ada bunglon yang siap-siap memangsa.

Selain bersifat ofensif untuk memangsa, tindakan membohongi juga bersifat defensif, agar hewan tidak dimangsa oleh predator yang berada di atas rantai makanannya. Anda dapat mencontohkan hewan, dan termasuk pula tumbuh-tumbuhan yang mempunyai beberapa tindakan untuk mengelabui lawan-lawannya.



Bahkan manusia mengabadikan beberapa hewan yang terkenal mampu “membohongi” predator ganas lainnya; misalnya kancil. Dalam cerita-cerita (dikisahkan kalau hewan puya kemampuan berbicara), instrumen utama dari kebohongan si kancil (misalnya terhadap buaya, harimau, dan pemangsa ganas lainnya), adalah mulutnya. Cerdik sekaligus licin.

Manusia mempunyai kemampuan lebih kompleks dari makhluk hidup lainnya. Dia mempunyai software tercanggih yang tak dimiliki makhluk lain, yaitu akal dan pikiran. Selain mampu berbohong dengan mulutnya, dia juga mampu berbohong melalui mimik wajah, gestur dan lain sebagainya. Bukan itu saja. Akalnya dapat memberi informasi bagaimana mengendalikan atau menggerakkan seluruh kemampuan fisiknya dan instrumen di luar dirinya yaitu alam, untuk digunakan demi kepentingan-kepentingannya.

Dari cerita ringkas di atas, agaknya, kebohongan mempunyai dua fungsi yaitu ofensif dan defensif. Kebohongan juga melahirkan frasa-frasa lainnya yang berenergi sama misalnya licik, culas, licin, dan seterusnya. Bila kata-kata itu kelihatan lebih bersifat “negatif”, maka kata-kata seperti cerdik, siasat, dan lain-lain (Anda dapat menambahkan sendiri) mungkin lebih bersifat “positif”. Pada intinya, sesuai batasan yang diberikan oleh kamus bahasa, maka energi dasar dari “bohong” yaitu ketidaksesuaian dengan hal (keadaan) yang sebenarnya. Dia berkembang; dapat dipergunakan secara “positif” maupun “negatif”, yang menandakan ada proses penyematan nilai-nilai etik moral dalam kata bohong tersebut.

* * *

Karena itu pula, adalah menarik ketika melihat pengakuan kebohongan yang dilakukan seorang Ratna Sarumpaet baru-baru ini. Mudah ditebak, hujatan yang diterima Ratna seperti derasnya hujan. Tapi, Ratna hanyalah seorang anak manusia yang –menurut pengakuannya– terjebak dalam kebohongan demi kebohongan yang dibuatnya sendiri. Bila Ratna mengakuinya –tentu kita harus menguji pengakuan itu–, bagaimana pula dengan yang lain?

Seseorang bijak pernah mengatakan, sesungguhnya salah satu perlawanan terbesar dalam hidup manusia adalah melawan keinginan untuk berbohong dalam hidupnya. Si bijak tadi mengatakan, cobalah untuk tidak berbohong selama hidupmu? Bisakah? Kalau tak mampu, cobalah setahun saja. Tak sanggup, cobalah dalam waktu sebulan. Tak bisa juga, cobalah sehari. Kalaupun tetap tak bisa, cobalah selama sejam saja. Sanggupkah Anda? (*)

Cari di INDHIE

Be the first to comment

Leave a Reply