Kawasan Lapangan Merdeka Medan, Titik Nol yang Kian Renta

Kawasan Lapangan Merdeka adalah Titik Nol Kota Medan. Pertimbangannya, kawasan itu dulu menjadi sentra kegiatan dari perdagangan, pemerintahan, kantor pos, stasiun kereta api hingga hotel pertama di Kota Medan. Lapangan yang dulu bernama Esplanade ini sempat dijuluki “Taman Burung” oleh Belanda dan “Fuku Raidu” oleh Jepang. Pada 6 oktober 1945, Mr Muhammad Hasan sebagai Gubernur Sumatra Timur mengumumkan kemerdekaan RI kepada seluruh masyarakat Kota Medan di tempat itu. Sejak itu, namanya berubah menjadi Lapangan Merdeka.

Kantor Pos Besar Medan kini sungguh riuh. Di depannya juru parkir sibuk mengatur kendaraan. Di jajaran trotoar terpajang pedagang kaki lima, para pembeli, serta orang yang berlalu lalang keluar masuk kantor pos. Suasana itu akan semakin ramai ketika sore tiba. Jalan Balai Kota yang ada di depannya, merupakan salah satu jalan tersibuk, teramai dan salah satu yang rawan kemacetan bila sore tiba.

Kantor Pos Besar Kota Medan, Sumatera Utara. (foto: Roemono)

Riuhnya atmosfer di seputar Gedung Kantor Pos Besar itu bertali-temali dengan jalan yang melingkari Lapangan Merdeka Medan, sebagai inti kawasan Kota Medan; dulu dan kini. Gedung-gedung lama yang berjejer yang sudah disebutkan di atas, seakan-akan menjadi “pagar ayu” dari sebuah lapangan yang sejak dulu hingga kini punya nilai sejarah sangat panjang di Kota Medan.

Namun wajah tempo dulu dengan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda. Umur yang memang sudah tua, -usia Kota Medan sudah mencapai 428 tahun pada 1 Juli 2018 (disepakati Kota Medan didirikan pada 1 Juli 1590, red) – jadi salah satu faktor yang membuat wajah kawasan itu kian renta. Aneh memang. Ini memang berkebalikan dengan konsepsi antik: maka dia semakin dicari orang dan semakin mahal harganya.



Keasrian lapangan bersejarah ini terus berkelahi modernisasi. Di sekelilingnya, selain bangunan-bangunan lama, telah tumbuh bersanding-sanding bangunan yang dibikin di masa kini. Di satu bagian, lapangan ini dihimpit oleh objek wisata bernama Merdeka Walk yang di dalamnya berjejer aneka kuliner berwajah lokal maupun internasional. Sementara di sisi lain, kios-kios pedagang buku bekas mengapit. Itu belum lagi kantor pemerintahan dan polisi lalu lintas yang menyelip di sana. Begitu juga dengan Kondisi Gedung Kantor Pos Besar Medan, yang memperlihatkan cat-cat di dindingnya mulai mengelupas di sana-sini.

Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II SH, salah seorang sejarahwan yang dimiliki Kota Medan, ketika diwawancara semasa hidupnya (Luckman wafat pada 2011) di kediamannya, mengungkap cerita soal kawasan itu. Dia bilang, kondisi Lapangan Merdeka Medan dan Kantor Pos Besar Medan jauh dari kata “asri”. Luckman yang merupakan Chairman Of The Presidium Forum Komunikasi Antar lembaga Adat (Forkala) Sumut, berujar, “Sekarang fungsinya sudah bisnis.”

Tuanku Luckman Sinar Basyarsyah II (foto: serambi-melayu)

Dia membuka lembaran lama soal kawasan itu. Dia berkisah, dulunya Lapangan Merdeka Medan merupakan salah satu sarana tempat olahraga masyarakat dari berbagai kalangan. “Masa itu di sekeliling Lapangan Merdeka Medan masih kosong. Tidak seperti sekarang ini. Kalau sekarang sudah tertutup semuanya, kurang baguslah. Penuh dengan hiruk pikuk,” ujarnya menyesalkan.

Dalam ingatannya, dulu Lapangan Merdeka Medan adalah tempat rekreasi keluarga. Bahkan di zaman penjajahan Belanda, setiap minggunya di alun-alun lapangan kerap diadakan musik tentara untuk menghibur rakyat.

Di bawah Lapangan Merdeka Medan tersebut juga terdapat parit besar untuk pembuangan air yang alirannya menuju Sungai Deli. “Kita bisa berjalan di bawahnya karena besar dan bersih. Tapi sekarang tidak tahu gimana kondisinya, apa sudah tumpat dipenuhi sampah atau bagaimana,” kenangnya.

Menurut dia, di sana juga terdapat titik pertemuan dua sungai, yakni Sungai Deli dan Sungai Babura. Kata Luckman, di situlah Guru Patimpus membuka sebuah wilayah bernama Kampung Medan pada abad ke-16. Bahkan di sana pulalah untuk pertama kalinya maskapai membuat kantor besar, yakni tembakau. Perusahaan tersebut adalah De Deli Maatschappij yang didirikan oleh J Nienhuys bersama GC Clemen dan PW Janssen. J Nienhuys (dan firmanya JF Van Leeuwer en Mainz Co) dikabarkan sudah tiba di Sungai Deli pada 6 Juli 1863.

Nienhuys kemudian memindahkan kantor besarnya dari Labuhan (suatu tempat menuju pelabuhan Belawan) ke pertemuan dua sungai tersebut agar mudah mengontrol jalannya bisnis perdagangan. “Dia memindahkan kantor besarnya ke situ agar gampang mengontroler semua sampan yang lewat atau singgah menuju hulu. Di situlah semua kegiatan perdagangan dilakukan. Mulai dari penimbangan, pengecekan, sampai pengawasan. Selanjutnya baru dilaporkan,” ceritanya.

Soalnya bila memakai jalur darat atau jalur labuhan dengan menggunakan kereta lembu, para pedagang kerap terkendala dengan beratnya medan yang bila musim hujan kondisnya akan berlumpur bahkan banjir. Kenang Luckman, “Jadi kalau transaksi dagang dilakukan di pertemuan dua sungai itu maka tidak payah lagi memakai kereta lembu. Pengawasannya pun jadi lebih mudah.”

Lantas setelah itu, oleh Belanda, di sekitar Lapangan Merdeka Medan tersebut dibangunlah gedung-gedung besar diantaranya Kantor Pos, Hotel, Bank, dan stasiun kereta api hingga wilayah tersebut menjadi pusat kota dan pusat perdagangan.

Pengesahan titik nol diresmikan oleh Kota Praja Medan atau Gemeente Medan pada 1918. Melalui pembentukan Dewan Kota, mereka mulai mematokkan kalau titik nol Kota Medan dimulai dari Lapangan Merdeka Medan. “Pihak yang bisa menentukan titik nol hanya Kota Praja melalui keputusan sidang dewan kota. Mereka mulai mematokkannya dari Balai Kota, karena berdasarkan gedung-gedung yang didirikan mulainya di situ,” terang Luckman Sinar. 

Namun satu hal yang harus menjadi contoh, kata Luckman, meskipun banyak gedung yang dibangun di sekitar situ, Lapangan Merdeka Medan sama sekali tak diganggu gugat. Lokasi tersebut tetap dibiarkan terbuka dan bersih. Tetap ada pohon-pohon rindang dan berbagai upacara kemiliteran. “Dulu di situ ada monumen perang Tamiang. Monumen yang mencatat bagaimana dan siapa-siapa saja tentara belanda yang gugur saat berperang dengan tentara Tamiang. Tapi di tahun 1950-an monumen itu dihancurkan oleh PKI,” ungkapnya.

Ternyata bukan di situ saja terdapat patung dan monumen bersejarah. Di atas puncak air mancur depan gedung kantor pos pun dulunya terdapat patung Nienhuys. Patung tersebut didirikan salah satunya untuk mengenang dia sebagai tokoh bisnis di Kota Medan. Tapi, lagi-lagi, patung itu kini sudah tak bisa lagi ditemukan di air mancur itu. Seingat Luckman Sinar, patung tersebut disimpan oleh salah satu pihak perkebunan yang saat ini telah berganti nama menjadi PTP.

Cerita punya cerita, karena gedung-gedung utama dibangun di area sekitar lapangan hingga menjadi pusat perdagangan dan pusat kota, maka pada abad ke-19 Lapangan Merdeka Medan disepakati sebagai titik nol-nya Kota Medan. “Pertimbangannya karena di sana ada lapangan, Kesawan, pertokoan, kantor pos, stasiun, dan hotel. Di situlah awal perkembangannya. Tapi intinya karena di situlah pertama kali gedung-gedung di bangun dan di sana sebagai pusat kegiatan,” tuturnya.

Luckman menilai, alasan-alasan tersebutlah yang membuat kawasan Lapangan Merdeka Medan sebagai titik nol Kota Medan. Pengesahan titik nol diresmikan oleh Kota Praja Medan atau Gemeente Medan pada 1918. Melalui pembentukan Dewan Kota, mereka mulai mematokkan kalau titik nol Kota Medan dimulai dari Lapangan Merdeka Medan. “Pihak yang bisa menentukan titik nol hanya Kota Praja melalui keputusan sidang dewan kota. Mereka mulai mematokkannya dari Balai Kota, karena berdasarkan gedung-gedung yang didirikan mulainya di situ,” terang Luckman Sinar.

Dia juga menjelaskan, dulunya semua wilayah kota itu adalah milik Belanda karena di tahun 1918, oleh Sultan Kerajaan Deli, tanah ini diserahkan ke tangan Departemen Hindia Belanda sebagai pemilik. Hukum yang berlaku saat itu pun adalah hukum barat. “Saat itu hukum kesultanan tidak berlaku karena sudah menjadi Kota Praja,” ungkap Luckman.

Menurut Luckman, di antara kota-kota yang masuk dalam Kota Praja saat itu adalah Medan, Tebingtinggi, Binjai, Siantar, dan Tanjung Balai. Kelima wilayah ini berada di luar kekuasan raja karena itu sudah masuk dalam kekuasaan pemerintah pusat atau Hindia-Belanda.

Namun intinya, tegas Lukman Sinar, kesepakatan tersebut tergantung dari dewan kota. Merekalah yang berhak menentukan titik nol dari sebuah kota, khususnya Kota Medan. Nah, karena pertimbangan-pertimbangan tersebut maka disepakatilah wilayah Lapangan Merdeka Medan sebagai titik nol Kota Medan.

Meskipun telah disepakati, namun pengesahan tersebut tak disiarkan secara formal kepada khalayak ramai. Hanya saja, entah dari mana sumber informasinya, sebagian besar masyarakat Kota Medan mengetahui bahkan mengakui kalau titik nol Kota Medan berada di Lapangan Merdeka Medan. Hal tersebut telah berlangsung lama, dari dulu hingga sekarang.

* * *

(bersambung…)

Cari di INDHIE

4 Trackbacks / Pingbacks

  1. Paris van Sumatra, Masa Lalu Kota Medan – indhie
  2. Saat Medan Berjuluk Paris van Sumatra – indhie
  3. Akhyar Nasution Mau Buat Kesawan Medan Seperti Malioboro – indhie
  4. GP Al-Washliyah Sumut Datangi Akhyar, Rencana Datangkan Ustadz Somad – indhie

Leave a Reply