Menang

Ka'bah [foto ilustrasi/net]

FATH al-Makkah merupakan peristiwa kemenangan paling bertolak belakang dalam sejarah kemenangan penaklukan politik dan militer di dunia. Dia tidak seperti penaklukan ala Romawi, Inggris, Mongolia, Persia dan lain-lain yang berhasil menjadi empirium terbesar dunia. Penaklukan bagi mereka adalah penjajahan, sebuah perayaan glamor yang meletakkan raja/ratu ataupun kaisar duduk di pucuk piramida kekuasaan tertinggi dengan bangga sekaligus angkuh.

Fathul Makkah bahkan susah dikatakan sebagai sebuah penaklukan atau ekspansi. Untuk apa menaklukkan kampung kelahiran sendiri? Tidak ada simbol politik yang menegaskan bahwa Muhammad (SAW) duduk dalam singgasana megah, dengan pengawal super waspada di sana-sini dan lalu memberikan perintah untuk menggenggam seluruh dunia. Dia nihil dari motif politik kekuasaan. Untuk apa berkuasa di sebuah tempat yang waktu itu tidak mempunyai sumber daya ekonomi-politik dan alam yang melimpah? Makkah waktu itu pun bukanlah sebuah pusat kekuasaan politik, peradaban dan kebudayaan dunia, seperti Romawi dan Persia.



Lalu, lihatlah pekerjaan pertama Muhammad setelah tiba ke kampung kelahirannya. Tujuannya bukanlah ke bekas rumahnya lebih dulu, ke kaum Bani Hasyim, melainkan terarah ke Ka’bah, rumah ibadah yang didirikan oleh datuk moyangnya, Ibrahim-Ismail. Membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala dan menjadikannya kembali sebagai poros peribadahan manusia menuju Tuhan.

Benar, Fathul Makkah merupakan sebuah perjalanan panjang menuju Tuhan. Perjalanan yang dibentang melalui episode-episode peperangan, negosiasi politik, korban syahid harta hingga jiwa. Dia bukan sebuah perjalanan kekuasaan politik seperti yang kita kenal saat ini: duduk dalam rantai atas makanan, menguasai sumber-sumber daya, superior, perintah sana-sini, ambil sana-sini, dan lain-lain. Pendek kata, menjadi Tuan.

Dia juga bukan buncahan kegembiraan layaknya sebuah tim yang bersorak-sorai setelah memenangkan sebuah piala; bukan pula sumringah seperti saat mendapat bonus uang di akhir tahun.

Muhammad juga tidak mendirikan sebuah pertanda kemenangan, seperti membangun istana dan bangunan yang megah yang diniatkan untuk dapat diingat sepanjang masa. Dia juga tidak berbaju mewah. Tidak. Setiap muslim dan mukmin paham benar bagaimana kondisi rumahnya di Madinah.

Bahkan, Muhammad tidak membangun kediaman di sebelah Ka’bah. Muhammad tidak membuat patung dirinya ataupun tapak tangannya namun justru mensucikan kembali maqam Ibrahim yang –mungkin saja– sebagai pengingat bahwa bukan dirinyalah yang mendirikan Ka’bah melainkan datuknya. Ritual haji yang mewajibkan manusia tawaf di Ka’bah, pun bukan diambil dari kisah Muhammad bersama ibu dan ayahnya, atau istrinya, melainkan riwayat Adam-Hawa, Ibrahim-Hajar-Ismail. Dia bahkan tidak memerintah untuk dikuburkan di samping Ka’bah ataupun di sekitar Makkah.

Padahal sebagai makhluk paling terhormat di alam semesta, tentulah kita menganggap kalau Muhammad mempunyai hak dan kepantasan untuk itu semua.

Tapi Muhammad adalah sosok yang berpakaian tawadhu’ dan pemalu; malu kepada Tuhannya, zat yang lebih berhak dipuja dan dipuji. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, … maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Begitulah an-Nashr yang turun sesaat sebelum Fathul Makkah.

Lalu, bagaimana mungkin manusia tidak malu kepada Muhammad? (*)


Nirwansyah Putra
~ indhie


Cari di INDHIE

Be the first to comment

Leave a Reply