MUSA adalah sebuah kisah yang diulang-ulang dalam Al-Quran. Beliau lahir di saat Fir’aun berada di puncak kekuasaannya, puncak diktatorian, otoritarian, megalomaniak. Namun, Fir’aun sepertinya adalah seorang tiran yang diam-diam mengakui konsep ‘tuhan’. Kok bisa?
Dia sadar benar bahwa rakyat Mesir dan dunia waktu itu meyakini eksistensi tuhan, dan karena alasan ‘populis’ itu pula dia pada dasarnya mengakui konsepsi “tuhan”, seberapapun samarnya. Jadi, dia bukanlah seorang ‘atheis’ tulen. Namun, dia alihkan seluruh konsepsi itu ke dirinya dan mengangkat dirinya sebagai ‘tuhan’. Bagi dia, menjadi ‘tuhan’ itu enak.
Fir’aun perlu ritual, aparatus, tradisi sebagai tiang dari basis ide-idenya. Para panglima, penasehat, hulubalang, tentara, menjalankan kekuasaan dalam landasan ide besar itu. Emas dan kekayaan negara, atribusasi kemewahan dan transenden ke dalam tubuh dan sosok diri, tentara yang kuat dan masif, pendisplinan via upah, hadiah, sanjungan, kedekatan personal dan trah, jabatan hingga hukuman, siksa dan kematia;: berbasis takut dan gembira. Dengan konsepsi tuhan tertinggi waktu itu adalah ‘matahari’: sebagai sesuatu yang tinggi, jauh, bergerak, dan mampu menjadi ‘sumber kehidupan’ yang ‘hidup’, maka dia harus seperti itu dan kalau bisa lebih. Seandainya tidak bisa menjadi “anaknya” pun jadilah, kira-kira begitu.
Konsepsi ‘ketuhanan’ ala Fir’aun, telah bergerak dari masa ikon-ikon keberhalaan yang dihancurkan di masa nabi Ibrahim. Bisa dibilang, konsepsi berhala pada dasarnya sudahlah “kuno” waktu itu. Setelah berhala dan dewa-dewa, maka muncullah ‘anak-anak dewa’ dengan dewa-dewa yang masih mempunyai bentuk. Konsepsi dewa Yunani dan Romawi adalah episode lanjut dari konsepsi ketuhanan ala Fir’aun. Ini kemudian diikuti di masa setelah Nabi Isa: konsepsi ‘anak tuhan’.
***
Keseluruhan konsep ketuhanan yang ‘diciptakan’ manusia-manusia itu, seluruhnya, lahir kembali sebelum dan di masa Rasulullah Muhammad, dan seluruhnya pula dihancurkan oleh beliau. Beliau menyampaikan firman: Tuhan adalah satu, tidak beranak dan bukan anak siapa-siapa, tidak berbentuk dan menyerupai sesuatu apapun. Apa yang disampaikan oleh Rasulullah, adalah sama persis dengan yang disampaikan oleh seluruh nabi-nabi sebelum beliau.
Dengan demikian, ada sesuatu ‘ide’ yang terus-menerus bergerak di diri manusia untuk menciptakan lagi suatu konsepsi tentang ‘ketuhanan’ dan menentang ‘tuhan’.
Setelah munculnya renaisans Eropa, ‘tuhan’ kemudian digugat lagi dan kini memakai alat yang bermanfaat langsung bagi manusia seperti filsafat dan sains. Dikotomi ataupun sekularisasi mengajukan ide untuk tidak secara langsung menghabisi konsepsi ketuhanan, tetapi memberi ‘saingan’. Dia mulai dari menyandingkannya, lalu meragukan, dan beralih ke sekularisasi ekstrim yang begitu tajam: bukan hanya tuhan melainkan ‘konsepsi ketuhanan’ itu sendiri adalah tidak ada alias atheisme mutlak.
Pertanyaan terbesar adalah mengapa ‘tuhan’ selalu diserang, diurusin. Padahal, seandainya orang dan mereka-mereka yang tak mengakui ‘tuhan’ ataupun menuhankan diri dan kaumnya itu, berjalan sendiri saja dan tak mengurusi dapur orang-orang beragama, ya, sepertinya tidak ada konflik dan permusuhan yang terjadi. Masalahnya memang bukan di situ, melainkan hasrat kekuasaan.
Hasrat untuk menguasai orang, kelompok, dan dunia tempatnya bermukim, begitu menggelora. Menguasai berarti mengendalikan pikiran, perasaan, tindakan, peristiwa masa kini dan masa depan orang-orang yang di luar dirinya, seluruh hidupnya, agar seperti yang diinginkan dirinya.
Hasrat itu bersembunyi, samar dan hampir tidak kelihatan, dan tidak diketahui pasti, benarkah dia murni berasal dari dirinya sendiri, dari kemanusiaannya sendiri, ataukah dari sesuatu yang lain. Di dalam hasrat kekuasaan itu berdiam kesenangan, kenikmatan, suatu ekstase. (*)
Nirwansyah Putra
April 2025