JAKARTA | Setelah UUD 1945 empat kali diamendemen, dibutuhkan penataan kembali sistem politik ketatanegaraan pascareformasi berjalan 25 tahun guna melihat sejauh mana konstitusi telah bekerja untuk kemajuan bangsa. Berbagai kalangan juga menginginkan agar MPR dapat kembali menjadi lembaga tertinggi negara. MPR juga diusulkan terdiri dari anggota DPR sebagai representasi politik dan anggota DPD RI sebagai representasi golongan, serta Utusan Golongan.
Demikian di antara usulan-usulan yang disampaikan masyarakat ke Forum Aspirasi Konstitusi tentang perubahan kelima UUD 1945. Selain hal-hal di atas, hasil kajian lainnya tentang amandemen UUD 1945 nantinya akan direkomendasikan kepada pimpinan MPR RI periode 2024-2029.
Demikian disampaikan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, setelah membuka Focus Group Discussion (FGD) bersama Forum Aspirasi Konstitusi tentang Penataan dan Penguatan Kelembagaan MPR, DPR, DPD melalui Perubahan Ke-5 UUD, di Jakarta, Senin (29/7/2024). Turut hadir pula Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad, Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai, serta Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri, dan para anggota DPD RI.
“Hasil kajian tentang perubahan ke-5 UUD NRI 1945 ini akan menjadi bahan rekomendasi pimpinan MPR RI sekarang kepada pimpinan MPR RI periode 2024-2029,” kata Bambang Soesatyo.
Bambang Soesatyo menyatakan sepakat dengan Ketua Forum Aspirasi Konstitusi sekaligus anggota DPD RI dan pakar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie yang turut hadir pada diskusi tersebut bahwa UUD 1945 bukanlah kitab suci yang tabu untuk diubah, melainkan harus terus menerus dilakukan evaluasi secara mendalam agar UUD 1945 dapat menjawab tantangan zaman.
“Evaluasi konstitusi bukan semata pada penataan kewenangan lembaga negara, seperti halnya penguatan MPR RI, baik dari sisi kewenangan maupun keanggotaan, melainkan juga pada perbaikan redaksional dalam penulisan konstitusi. Prof. Jimly menyebut istilah merakit, merajut, dan menjahit kembali naskah konstitusi pascareformasi,” kata Bambang.
Bambang menilai setelah empat kali amendemen, dibutuhkan penataan kembali sistem politik ketatanegaraan pascareformasi berjalan 25 tahun guna melihat sejauh mana konstitusi telah bekerja untuk kemajuan bangsa. Amerika Serikat telah 27 kali melakukan amendemen konstitusi dan saat ini sedang menyiapkan kembali amendemen konstitusinya untuk ke-28 kali.
Bambang menjelaskan, Forum Aspirasi Konstitusi pun sudah menyerap aspirasi dari berbagai kalangan yang menginginkan agar MPR dapat kembali menjadi lembaga tertinggi negara sehingga bisa berperan aktif menyelesaikan berbagai perselisihan kebuntuan politik dan hukum yang terjadi di tanah air. Katanya, MPR RI juga perlu diisi kembali oleh Utusan Golongan, selain diisi oleh anggota DPR sebagai representasi politik dan anggota DPD RI sebagai representasi golongan.
“Kehadiran Utusan Golongan sejak awal kemerdekaan telah diinisiasi oleh para founding fathers kita dengan semangat tidak boleh ada satupun elemen bangsa yang ditinggalkan. Reformasi justru menghapuskan keberadaannya. Tidak heran jika kini banyak kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya karena mereka merasa tidak dilibatkan, bahkan merasa ditinggalkan,” terang Bambang.
Keberadaan Utusan Golongan yang mewakili golongan tertentu juga terdapat di berbagai parlemen negara maju, misalnya di Inggris ada House of Lords yang diisi para bangsawan dan kalangan agamawan, atau di Parlemen India melalui Rajya Sabha yang diisi orang-orang yang memiliki keahlian atau pengalaman khusus dalam berbagai bidang, seperti seni, sastra, sains, dan pelayanan sosial.
“Esensi dari demokrasi bukan hanya tentang keterpilihan, melainkan juga tentang keterwakilan. Tidak semua yang dipilih melalui pemilu bisa mewakili aspirasi rakyat. Untuk itu, perlu dilengkapi dengan Utusan Golongan yang bisa mewakili kelompok masyarakat tertentu seperti golongan seniman, golongan budayawan, golongan adat, golongan agamawan, hingga golongan profesi seperti guru, wartawan, dan dokter,” tegasnya. (*)
laporan: harma sinaga/ril