JAKARTA | Kasus dugaan korupsi pengadaan satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) 2015 sampai 2021 terus bergulir. Tim Jaksa penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampdisus) kembali memeriksa seorang saksi terkait kasus tersebut pada Senin (24/1/2022) kemarin.
Dalam siaran persnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Leonard Eben Ezer Simanjuntak SH MH pada Senin (24/1/2022), menyatakan, saksi yang diperiksa yaitu SW selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK) yang juga Tim Ahli Kemenhan.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan tahun 2015-2021,” kata Kapuspenkum.
Sebelumnya, pada Rabu (19/1/2022), tim jaksa penyidik juga telah memeriksa dua orang saksi lainnya yaitu AMP (Solution Manager PT DNK) dan CWM (Senior Account Manager PT DNK). Lalu pada Selasa (18/1/2022) pukul 15:00 WIB, tim jaksa penyidik telah melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan di 3 lokasi yang terkait dalam perkara ini. Tiga lokasi itu adalah kantor PT DNK di Jalan Prapanca Raya, Jakarta Selatan dan di Panin Tower Senayan City Lantai 18A Jakarta Pusat, serta di apartemen milik saksi SW.
Barang yang disita tim di lokasi tersebut yaitu 3 kontainer plastik dokumen, 30 buah barang bukti elektronik. “Terhadap barang yang disita tersebut akan dijadikan barang bukti,” terang Leonard Eben Ezer pada Selasa (18/1/2022) lalu.
PT DNK sendiri merupakan pemegang Hak Pengelolaan Filing Satelit Indonesia untuk dapat mengoperasikan satelit atau menggunakan spektrum frekuensi radio di orbit satelit tertentu.
Patut dicatat, keberadaan satelit di Slot Orbit 123° BT, bukan perkara sepele. Eksistensinya memiliki kemampuan untuk menjangkau daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil di Indonesia, komunitas maritim, vessel monitoring system, komunikasi untuk monitoring bencana seperti search and rescue serta komunikasi pertahanan dan keamanan. Satelit di slot itu menjadi sangat penting dan vital bagi pertahanan Indonesia, mengingat letaknya berada tepat di tengah-tengah wilayah yurisdiksi Indonesia atau kira-kira berada di atas Pulau Sulawesi.
* * *
Siaran Pers Pusat Komunikasi Publik Kemenhan per Senin 14 Mei 2018, mengungkapkan tanggapan atas gugatan Avanti Communications Ltd ke Indonesia di London Courts of International Arbitration (LCIA). Gugatan dilayangkan Avianti per 10 Agustus 2017.
Duduk perkara dengan Avianti dijelaskan dalam siaran pers itu. Dikatakan, sejak Satelit Garuda dinyatakan keluar dari Slot Orbit 123° BT pada 15 Januari 2015, mengakibatkan terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Sesuai ketentuan ITU (International Communication Union), pada Pasal 11.49 dinyatakan bahwa negara yang telah diberi hak pengelolaan akan diberi waktu untuk mengisi kembali dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun. Apabila hal ini tidak dapat dipenuhi, maka berdasarkan peraturan ITU, hak negara pemilik yakni hak terhadap slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain.
Mengingat proses pembuatan satelit baru memerlukan waktu lebih dari 3 tahun, sementara slot tersebut harus segera terisi sebelum tenggat waktu habis, Kemenhan mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi Slot Orbit 123° BT, sementara menunggu satelit baru diluncurkan. “Upaya ini harus dilakukan oleh Kemhan dalam rangka menyelamatkan Slot Orbit dan Spektrum Frekuensi L-Band agar Indonesia tidak kehilangan hak atas pengelolaan,” tulis siaran pers itu.
Sesuai kontrak, pihak Avanti menempatkan satelit Artemis pada Slot Orbit 1230 BT terhitung mulai tanggal 12 November 2016. Dengan demikian, Slot Orbit 123° BT berhasil diamankan hingga 1 November 2020. “Karena apabila Kemhan dan Kemkominfo tidak melakukan langkah-langkah penyelamatan maka hak pengelolaan Slot Orbit 1230 BT tersebut akan hilang sejak Januari 2018,” tulis siaran pers itu.
Permasalahan dengan Avanti terjadi sejak Kemenhan tidak dapat memenuhi pembayaran sewa satelit sejak akhir tahun 2016 hingga 2017 sesuai kontrak. Setelah berbagai upaya negoisasi dilakukan oleh Kemenhan menemui kegagalan, maka Avanti secara resmi mengajukan gugatan pada 10 Agustus 2017 melalui LCIA dan mengeluarkan Satelit Artemis dari Slot Orbit 1230 BT pada bulan November 2017.
Menteri Pertahanan (waktu itu dijabat Ryamizard Ryacudu) kemudian memberi Surat Kuasa Khusus (SKK) kepada Jaksa Agung sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk mewakili Pemerintah guna menghadapi gugatan Arbitrase Internasional. Namun, Indonesia kalah dalam pengadilan Arbitrase pada 7 Juni 2018, dan dikenai denda US$20 juta.
Sampai di 2018, belum ada kehebohan. Indonesia menghadapi Pemilu dan Pemilihan Presiden di 2019.
* * *
Rupanya, pemerintah tidak hanya berurusan dengan Avanti. Kali ini dengan Navayo International AG. Menkopolhukam baru, Mahfud MD, yang menjabat di 2019 pun menerima laporan pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura karena digugat Navayo untuk membayar kontrak dan barang yang telah diterima oleh Kemenhan.
Seperti sudah ditulis di atas sebelumnya, Avianti memenangkan gugatan atas Indonesia di LCIA dan Indonesia harus membayar denda US$20 juta. Tidak denda saja, karena Indonesia juga harus membayar biaya arbitrase dan biaya konsultan perkara. “Pngadilan arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar, mengeluarkan pembayaran, untuk sewa satelit Artemis, ditambah biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp515 miliar. Jadi negara membayar Rp515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” kata Mahfud.
Tagihan lain datang dari Navayo International AG yang mengugat Indonesia via Pengadilan Arbitrase Internasional di Singapura pada 22 November 2018 lalu. Navayo meminta Indonesia membayar denda US$23,4 juta. Indonesia kalah lagi. Dalam putusan Arbitrase Singapura pada 22 April 2021 ini, Indonesia harus membayar denda US$16 juta plus biaya lainnya. “Selain dengan Avanti, pemerintah baru saja diputus arbitrase Singapura, untuk membayar nilainya sampai sekarang itu US$20,901,209 kepada Navayo. Jadi Rp515 miliar dan US$20 juta,” ungkap Mahfud.
Dengan dua denda itu (Rp515 miliar dan US$20 juta atau sekitar Rp304 miliar) saja maka Indonesia harus mengeluarkan duit minimal sekitar Rp800 miliar. Masalahnya, pada 2015 dan 2016 itu, Indonesia tidak hanya kontrak dengan Avanti dengan Navayo, tetapi juga dengan Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat. “Sudah kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan Singapura tadi, negara berpotensi ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat. Sehingga banyak sekali beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan,” ungkap Mahfud.
Menurut Mahfud, hal ini sudah menjadi perhatian lama dari Kejaksaan Agung dan pihak mereka (Kemenpolhukam) juga telah melakukan audit investigasi.
Jaksa Agung, ST Burhanuddin, yang hadir di konpers di Kemenpolhukam itu, membenarkan statemen Mahfud. “Benar, kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini. Dan sekarang sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat perkara ini akan naik ke penyidikan. karena kemarin masih penyelidikan. Dan memang dari hasil penyelidikan, cukup bukti untuk kami tingkatkan ke penyidikan,” kata Burhanuddin.
Pengungkapan kasus ini jelas bukan perkara mudah. Mahfud mengaku sudah bertemu dan berdiskusi dengan Menteri Pertahanan, Menkominfo, Menteri Keuangan, Panglima TNI, dan Jaksa Agung, Pihak-pihak yang ditemui pun setuju kasus ini diungkap lebih jauh.
Presiden? “Hari Rabu (12 Januari) kemarin, saya melaporkan kepada Bapak Presiden, dan Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini,” kata Mahfud yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan itu.
* * *
Kejaksaan bertindak cepat. Jaksa Agung, ST Burhanuddin, seusai bertemu dengan Panglima TNI Jenderal Muhammad Andika Perkasa, di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Jumat (14/1/2022) pagi menjelang siang, menyatakan, surat perintah penyidikan kasus ini sudah ditandatangani. “Hari ini (Jum’at 14 Januari 2022) kami tandatangani surat perintah penyidikannya,” kata Burhanuddin.
Sorenya, digelar konferensi pers tentang kasus ini di Press Room Puspenkum Kejaksaan Agung. Temu pers dihadiri Jampdisus Dr Febrie Adriansyah, tetapi juga Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) Laksamana Muda Anwar Saidi, Kapuspenkum Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Direktur Penyidikan Jampidsus Dr Supardi, dan Direktur Penuntutan (Plt. Direktur Penindakan) Jampidmil Agus Salim SH MH.
Febrie menerangkan, kasus ini berawal dari tahun 2015 sampai 2021 di mana Kemenhan melaksanakan Proyek Pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT). Ini merupakan bagian dari Program Satkomhan (Satelit Komunikasi Pertahanan) di Kemenhan, antara lain pengadaan satelit Satkomhan MSS (Mobile Satelit Sevice) dan Ground Segment beserta pendukungnya.
“Namun yang menjadi masalah adalah dalam proses tersebut, kita menemukan perbuatan melawan hukum yaitu ketika proyek ini dilaksanakan, tidak direncanakan dengan baik. Bahkan saat kontrak dilakukan, anggaran belum tersedia dalam DIPA Kementerian Pertahanan tahun 2015. Kemudian, dalam prosesnya pun, ini juga ada penyewaan satelit dari Avanti Communication Limited yang seharusnya saat itu kita tidak perlu melakukan penyewaan tersebut. Karena di ketentuannya, saat satelit yang lama tidak berfungsi masih ada waktu 3 tahun dapat digunakan. Tetapi dilakukan penyewaan. Jadi kita melihat ada perbuatan melawan hukum,” ungkap Febrie.
Febrie melanjutkan, satelit yang disewa tidak dapat berfungsi dan spesifikasi tidak sama. Sehingga, indikasi kerugian keuangan negara yang ditemukan berdasarkan hasil diskusi dengan auditor, diperkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar. Uang itu berasal dari pembayaran sewa satelit Artemis dari Avanti Communication Ltd sekitar Rp41 miliar, biaya konsultan senilai Rp18,5 miliar, dan biaya arbitrase Navayo senilai Rp4,7 miliar. “Selain itu, ada pula putusan arbitrase yang harus dilakukan pembayaran sekitar US$20 juta,” ungkap Febrie.
Febrie menambahkan, “Dan inilah yang masih disebutkan sebagai potensi karena masih berlangsung, dan melihat bahwa timbulnya kerugian atau potensi sebagaimana tadi disampaikan dalam persidangan arbitrase, karena memang ada kejahatan yang dalam kualifikasinya masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.”
Setelah ekspose dan telah disepakati bahwa alat bukti sudah cukup, maka diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-08/F.2/Fd.2/01/2022 tanggal 14 Januari 2022, untuk melakukan penyidikan.
Dengan modus canggih dan pemeriksaan yang masih terus dilakukan, menarik untuk melihat sampai ke titik mana kasus ini akan berujung. (*)