MEDAN | Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menyayangkan lambatnya proses hukum atas kasus pencabulan yang dialami oleh BB (bukan inisial yang sebenarnya, usia 5 tahun, red). PKPA dan UPT Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) mengalami kendala dan kesulitan untuk bertemu dan berkordinasi dengan jaksa dalam upaya memantau perkembangan proses persidangan korban.
Sebelumnya diketahui bahwa BB adalah korban pencabulan yang dilakukan oleh ayah kandungnya, AA (bukan inisial yang sebenarnya, red) sejak BB berusia 2 tahun. Pencabulan terungkap sejak Januari 2019 dan pelaku AA telah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sei Rampah, Sergai atas tuntutan pencabulan. Namun hingga saat ini tidak ditahan kejaksaan dan hanya menjalani tahanan kota.
CC (bukan inisial yang sebenarnya), ibu korban, juga menyayangkan keputusan kejaksaan yang hanya menuntut pelaku 9 tahun penjara. CC yakin bahwa pelaku layak dituntut di atas 10 tahun karena dilakukan oleh orang yang seharusnya melindungi korban.
PKPA selaku lembaga yang fokus pada pemenuhan hak anak beranggapan, lambatnya proses hukum atas kasus JC dapat berdampak buruk pada psikologi korban dan dapat menyebabkan trauma yang berkepanjangan.
“Bahwa sampai proses persidangan terdakwa juga belum dilakukan penahanan. Keputusan untuk tidak dilakukan penahanan terhadap terdakwa juga memperburuk kondisi korban. Ditambah lagi pada saat persidangan, korban ditempatkan pada ruangan yang sama dengan pelaku sehingga menyebabkan trauma pada anak. Terutama karena terdakwa merupakan ayah kandung korban,” kata Dizza Siti Soraya selaku Koordinator Pusat Pengaduan Anak PKPA.
Meninjau lambatnya proses hukum dalam kasus ini, Keumala Dewi selaku Direktur Eksekutif PKPA, mengatakan, proses penanganan kasus yang lambat ini, mengindikasikan kurang seriusnya aparat penegak hukum dalam menindak lanjuti kasus ini. “Dan dampaknya kepada si anak adalah trauma berkepanjangan karena sampai saat ini pelaku bebas berkeliaran,” kata dia.
Lebih jauh lagi, dampaknya pada sistem perlindungan anak dan penegakan hukum di Sumut yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Selain itu, kegagalan merespon dan menangani kasus ini, akan menimbulkan munculnya kasus-kasus serupa pada anak lain. “Dan ini menjadi citra buruk pada penegakan hukum dan pemerintahan di Indonesia,” tambah dia.
Kasus yang menimpa BB juga mendapat sorotan dari Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar SH MS. “Kami prihatin atas kejadian yang menimpa anak kita yang diduga menjadi korban pencabulan. Semoga pelakunya dapat dikenakan sanksi Pasal 82 UU 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak. Terimakasih kepada PKPA Medan dan Dinas P3A Prov Sumatera Utara yang telah melakukan berbagai upaya perlindungan anak dan pendampinga selama proses peradilan. Semoga putusan hukumnya akan berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,” kata dia dalam kordinasi yang dilakukannya bersama Yayasan PKPA. (*/ril)