Hari Ini 29 Agustus 1966: Sayyid Qutb Digantung Penguasa Mesir – indhie.com

Hari Ini 29 Agustus 1966: Sayyid Qutb Digantung Penguasa Mesir

Qutb dibebaskan dari penjara menjelang akhir 1964, tetapi ditangkap lagi oleh kekuasaan Mesir pada Agustus 1965. Qutb dituduh terlibat makar melawan negara. Beberapa kutipan dari bukunya digunakan untuk memberatkan.
Sayyid Qutb. [foto: net]

29 AGUSTUS 1966 | Sayyid Ibrahim Husayn Shadhili Qutb, lebih populer dengan sebutan Sayyid Qutb, dieksekusi mati pada 29 Agustus 1966. Waktu itu, kekuasaan Mesir dipegang oleh Presiden Mesir, Jamal Abdul Nashir. Qutb dieksekusi atas tuduhan makar merencanakan pembunuhan Presiden Jamal. Dia dieksekusi dengan cara digantung.

Qutb adalah penulis, revolusioner, pemikir, sastrawan, dan salah seorang tokoh Jamaʿat al-Ikhwan al-Muslimin atau sering disebut Ikhwanul Muslimin di Mesir di era 1950-1960-an. Organisasi Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hassan al-Banna pada 1928.

Qutb memang tidak hanya pemikir namun sekaligus penggerak revolusi sosial politik di Mesir. Dia menulis tidak kurang dari 24 buku (terbit) dan sekitar 30 buku yang belum diterbitkan atau tidak jadi diterbitkan karena dilarang dan dihancurkan oleh kekuasaan politik Mesir waktu itu. Karya terbesarnya disebut-sebut adalah Fi Dzilal al-Quran (Dalam Naungan Al-Quran). Karya ini merupakan tafsir Qutb atas Al-Quran yang ditulisnya selama 1951-1955 selama dia dipenjara oleh kekuasaan Presiden Jamal Abdul Nashir. Dia menekankan soal negara dan masyarakat Islam. Qutb nampaknya mengambil basis sosial politik dalam menginterpretasi al-Quran.



Qutb dilahirkan pada 9 Oktober 1906 di Provinsi Asyut, Mesir. Dia belajar al-Quran sejak kecil namunjuga membaca karangan-karangan dari dunia barat. Pada 1948-1950, Qutb pernah mendapat beasiswa bejalar ke Colorado State Collage of Education (sekarang Universitas Northern Colorado), Amerika Serikat. Dia juga berkunjung ke Eropa.

Namun, perjalanannya ke dunia barat ini tidak menjadikan Qutb sebagai “orang Eropa dan Amerika”. Bahkan ia memandang Eropa dan Amerika sarat kritik tajam mulai dari soal materialisme, kebebasan individu, sistem ekonomi, rasisme, kedangkalan dalam persahabatan, perceraian, hingga dukungan negara-negara barat terhadap Israel.

Sayyid Qutb bersama Presiden Colorado State Collage of Education. [foto: durangoherald]
Qutb jelas anti-sekulerisme. Dan ini menjadi salah satu titik poin tulisan-tulisannya di antaranya saat dia memegang media pergerakan Ikhwanul Muslimin. Meski anti-sekulerisme, itu juga tidak berarti Qutb setuju teokrasi murni seperti yang terjadi Eropa. “Mendirikan pemerintahan Tuhan di bumi tidak berarti bahwa kedaulatan diberikan kepada sekelompok orang tertentu, seperti yang terjadi ketika Gereja memegang kekuasaan di Eropa Kristen, atau bahwa orang-orang tertentu menjadi juru bicara para dewa, seperti yang terjadi di bawah teokratis,” tulis dia dalam Fi Dzilal al-Quran.

Dalam karyanya yang lain yang lebih fokus ke politik Islam, Ma’alim fi al-Thariq (sebagian diterjemahkan sebagai Milestones atau Tonggak Sejarah, terbit 1964), Qutb melandaskan pemerintahan Islam langsung berdasar pada al-Quran untuk menolak dan melawan situasi dan kondisi yang disebutnya sebagai Jahiliyah.

Untuk melawan kondisi Jahiliyyah, menurut Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq, ada dua jalan, yaitu pertama, menjauhkan diri dari kondisi Jahiliyyah, di antaranya dengan mengabaikan pengetahuan dan kebudayaan kelompok non-Muslim; dan kedua, memandang Alquran sebagai perintah yang harus ditaati bukan hanya sebagai “pelajaran dan informasi”. Dua prinsip ini menujukan dua pendekatan aksi berikutnya yaitu dakwah dan organisasi gerakan dalam jihad.

Sayyid Qutb di Kairo, Mesir. [Foto: AFP via Getty Images]
Menurut Qutb, mengikuti syariah tidak hanya penting tetapi juga atribut yang menentukan seorang Muslim, bahkan lebih penting daripada hanya keyakinan itu sendiri. Dia mensejajarkan antara “ketaatan” dan “penyembahan” dalam agama. “Siapapun yang melayani orang lain selain Tuhan” —baik seseorang (atau sesuatu) tokoh agama, presiden, parlemen, atau undang-undang dan hukum dalam negara sekuler— adalah “di luar agama Tuhan”, meskipun ia mungkin “mengklaim sebagai penganut agama ini”,” tulis Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq.Buku Ma’alim fi al-Thariq ini lebih tipis dari mognum opusnya di atas. Namun, keduanya sama-sama dikerjakan saat Qutb berada dalam penjara.

Dalam internal Islam, pemikiran Qutb dipandang dalam dua bingkai yang kontras: yang mendukungnya dan yang menolak, mengkritik, atau mendebatnya. Ada yang menjadikan Qutb sebagai inspirasi dan ada juga yang bahkan menuduhnya telah menyimpang.

Qutb dibebaskan dari penjara menjelang akhir 1964, tetapi ditangkap lagi oleh kekuasaan Mesir pada Agustus 1965. Qutb dituduh terlibat makar melawan negara. Beberapa kutipan dari bukunya itu digunakan untuk memberatkan Qutb. Qutb dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati setahun kemudian pada Agustus 1966. (*)


Dirangkum dari berbagai sumber
Penulis: Nirwansyah Putra


Leave a Reply