Nirwansyah Putra
~ indhie
SINEAS Indonesia suka sekali membikin film tentang hantu. Dari begitu banyak versi hantu di seluruh dunia, Indonesia memang memiliki bermacam-macam hantu. Ada sundelbolong, kuntilanak, hantu jeruk purut, tuyul, genderuwo, begu ganjang, dan macam-macam. Uniknya, film-film itu pun laris. Padahal, bukankah hantu itu menakutkan?
Kita takut tapi kita ingin melihat. Kita tutup wajah kita memakai sepuluh jari namun sedikit-sedikit kita mengintip dari sela-selanya.
Kita, Indonesia ini, tak akan mau mengakui kalau kita miskin. Kita lebih senang disebut bangsa yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Kita akan langsung bentangkan argumen-argumen kita soal itu. Di Indonesialah minyak dan air bisa menyatu. Belum lagi emas, permata, batubara dan lain-lain. Di negara-negara Timur Tengah, hanya minyak saja yang banyak. Tapi tanah mereka gersang.
Kita tak mau disebut miskin, karena kita lebih senang bila disebut “negara berkembang” daripada negara dunia ketiga. Konon, kata itu lebih bermartabat.
Kita masih berpandangan bahwa kemiskinan bukanlah potret sebuah martabat. Gara-gara kita disebut negara miskin, kita merasa jatuhlah harga diri kita sebagai manusia. Malu kita. Kita pun terus berusaha menutup-nutupi kemiskinan itu dengan tidak mengakuinya.
Kalau ada orang kelaparan, kita bilang dia “kurang gizi” atau “gizi buruk”. Kalau dia tak punya rumah, kita sebut dia “tuna wisma”. Kalau dia bodoh tak pandai membaca, kita sebut dia “buta aksara”. Yang penting, kita akan selalu berusaha menutup-nutupi kemiskinan, kebodohan dan kelaparan kita.
Kita selalu mengumbang-ngumbang prestasi kita. Petani kita masih miskin-miskin dan masih terikat tengkulak, pupuk-pupuk entah kemana, tapi kita terus mengatakan kita ini negara agraris. Kita bangga mengumumkan sudah menurunkan harga minyak. Tapi kita yang negara penghasil minyak ini, tak merasa ada yang aneh dan miris akan hal itu.
Kita ini orang miskin yang takut disebut miskin. Kita ingin selalu disebut negara kaya, negara bermartabat, negara yang punya kekuatan dan kemampuan super. Berjuta “padahal” bisa kita ungkapkan untuk meng-counter hal itu. Dan “padahal-padahal” itu tak susah untuk ditebak. Semuanya berintikan “kita adalah bangsa kaya-raya dan pintar-pintar”, “pembangunan ada di mana-mana…”. Lalu, kita pun sering memakai kalimat seperti ini: “kemampuan SDA dan SDM kita setaraf dengan bangsa-bangsa maju”.
Kita, walau miskin, pun tak ingin mengemis. Kita takut akan kesan “mengemis” itu. Jangan-jangan, kalau kita mengumbar kemiskinan kita, kita disangkakan pula sedang membutuhkan bantuan, utang atau apapun yang semacamnya itu, dari orang dan bangsa luar sana.
Lihatlah, suatu saat lalu, pernah Indonesia membuat cara memilih dalam pemilu dengan menyontreng dengan pena. Tentu, pena menandakan pendidikan yang sudah tinggi. Apa mau dikata, cara ini kemudian direvisi dan dikembalikan lagi dengan mencoblos pakai paku. Mau tertawa, pahit benar rasanya.
Hitunglah sudah berapa umur kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum…” itu dalam Pembukaan UUD 1945. Dia ‘kok seperti cita-cita yang entah kapan kesampaiannya. Jangankan untuk mencapainya, untuk mengakui kalau kita masih lagi negara yang miskin, bodoh dan lapar, saja, susah benar keluar dari mulut kita. Susah benar.
Persoalan-persoalan kita itu seperti hantu; kita takut akan hantu, tetapi kita menciptakan banyak hantu. Laris pula. (*)
One thought on “Hantu”