Mempersulit BPJS Kesehatan – indhie.com

Mempersulit BPJS Kesehatan

Oleh: Roni Jambak
Roni Jambak

 

Mempersulit BPJS kesehatan berarti sama saja mempersulit rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan. Di antaranya yaitu, sindikat kejahatan layanan kesehatan yang mempersulit keuangan BPJS Kesehatan demi “kesehatan” kantong pribadi mereka. Kesulitan BPJS tersebut berawal dari informasi bahwa negara kekurangan dana Rp 17,5 triliun untuk pembayaran klaim BPJS Kesehatan. Dari informasi tersebut, dilakukan penelusuran terhadap MoU rumah sakit dengan BPJS Kesehatan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut).

Kejati Sumut bergerak cepat, sehingga menemukan adanya dugaan penyimpangan klaim dana BPJS Kesehatan yang dilakukan sebuah rumah sakit di Medan. Masih menurut Kejatisu, diduga, penyimpangan klaim dana BPJS Kesehatan tersebut tak hanya dilakukan oleh rumah sakit di Medan saja. Berdasarkan temuan Intelijen Kejati Sumut, dari tahun 2014 sampai 2018 potensi kerugian negara mencapai Rp 5 miliar untuk satu rumah sakit, belum terhitung di seluruh Indonesia.

Dari kesulitan pembayaran klaim, pemerintah akhirnya berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga seratus persen per orang. Peserta BPJS Kesehatan pun bereaksi menolak kenaikan iuran tersebut. Tak sedikit pula yang menyarakankan agar BPJS Kesehatan dibubarkan saja



BPJS Kesehatan Jangan Bubar
Kesulitan BPJS Kesehatan bukan menjadi alasan untuk membubarkannya. Karena semenjak BPJS Kesehatan berdiri, manfaatnya telah dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Ketika BPJS kesehatan belum berdiri, hanya TNI/Polri dan PNS yang dapat menerima manfaat terhadap pelayanan kesehatan melalui iuran. Adapun asuransi jiwa dan sejenisnya, produk yang ditawarkan memiliki batas tertentu terhadap pelayanan tergantung banyaknya jumlah premi/iuran. Dengan demikian, tentu membuat perlakuan berbeda diantara sesama warga negara di Indonesia. Apabila seseorang sakit, tak ada uang untuk biaya berobat, dengan terpaksa harus menjual aset. Jika tak ada aset yang dijual, berarti harus menunggu ada sumbangan dari dermawan, bahkan yang lebih buruk terpaksa pasrah menahan sakit dengan obat seadanya. Jika ada seseorang yang berniat membubarkan BPJS saya usul urungkan saja niat itu. Apakah yang bisa ditukar selain BPJS Kesehatan untuk menanggulangi biaya perobatan rakyat. Atau, mampukah negeri ini membiayai orang sakit secara gratis seperti di negara lain yang hanya memiliki jumlah penduduk tak sebanding banyak seperti di Indonesia .

Penutup
Hiruk pikuk kenaikan BPJS Kesehatan masih tetap menggaung, itu bisa terjadi akibat proses transaksi keuangan. Iuran BPJS Kesehatan menjadi transaksi wajib setiap bulannya bagi peserta, jika tidak semacam sanksi menanti. Ada pikiran yang menggilitik, bagaimana iuran BPJS Kesehatan bisa di klaim/dicairkan menjadi uang kontan berapa tahun sekali. Dengan cara itu bisa menjadi motivasi peserta untuk membayar iuran. Rumah sakit yang melakukan penyimpangan biarlah menjadi urusan aparat penegak hukum. Karena dilema kesulitan BPJS Kesehatan yaitu tunggakan iuran peserta dan penyimpangan dana. Kini, BPJS Kesehatan jangan hanya terpaut kepada satu solusi dengan cara menaikkan iuran, tetapi harus mampu melakukan inovasi tertentu untuk meningkatkan sadar membayar iuran tanpa selalu dibayang bayangi dengan sanksi/menaikkan iuran kepada peserta BPJS Kesehatan. (*)


Penulis adalah Alumni FISIP UMSU, Wartawan KoranCerdas UMSU