Nirwansyah Putra
~ indhie
Salah satu tafsir dalam sejarah menunjuk Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis, sebagai pembawa alam “modern” ke dunia Timur sewaktu dia datang ke Mesir pada akhir abad ke-18, tepatnya 1798. Persenjataan tentara Napoleon difasilitasi oleh mesin dan teknologi baru yang belum dijamah oleh “Timur”; ibaratnya Timur masih menghunus belati, Barat sudah mengokang senapan dan meriam.
Dengan pedang, Anda mesti sedekat mungkin dengan musuh, sementara dengan senapan, cukup dari jauh Anda sudah bisa membunuh dalam skala besar. Kecepatannya jauh melampaui busur panah. Pantas Barat menang. Walau Anda punya ilmu kanuragan tingkat Brama Kumbara, bisa dipastikan kalah dengan ketajaman peluru.
Jadi, beberapa orang mengeryitkan keningnya ketika dikatakan bambu runcing bisa mengalahkan mortir Belanda dan Inggris. Bagaimana bisa? Konon, kata pendukung teori ini, walau hanya bambu runcing, tapi juga dibekali dengan ilmu supranatural yang diolah melalui ritual ibadah tertentu. Hanya orang-orang alim yang jago soal itu. Tapi, kalau soal alim, masak kita bilang orang Mesir tidak alim beragama sehingga harus kalah dari Napoleon?
Dua hal disandingkan di situ. Pertama, kata “modern” disejajarkan dengan mesin-teknologi dan kedua, Mesir sebagai perlambang Timur dan lebih dalam lagi, “Islam”.
Hal yang lebih mengasyikkan adalah babak baru perkenalan Timur dan Barat sebelum peralihan abad ke-20 (toh, sebelum-sebelumnya Barat dan Timur sudah sering menyapa) itu, rupanya, bukan diniatkan untuk memodernisasi itu. Kedatangan Napolean (sebagai wakil Barat) bukannya mau berkunjung, bertamu dan membawa oleh-oleh. Dia membawa senjata. Napoleon sedang menjajah.
Makanya, memang aneh benar ketika yang berusaha menafsirkan sejarah Islam menyebut periode itu sebagai awal modernisasi dunia Timur atau Islam. Atau barangkali, ini pula yang namanya penjajah yang positif itu. Jangan-jangan begitu pula, ya.
Tapi apakah memang ada yang begitu? Mungkin juga. Beberapa orang pernah berujar, ada yang menyesal karena penjajahan di Indonesia hanya didominasi Belanda. Dia merujuk pada Malaysia dan Singapura yang dijajah Inggris tapi lebih maju dari Indonesia. Mereka bilang, backmind Inggris lain dengan Belanda yang hanya sekedar mengeksploitasi. Inggris, katanya, juga mendidik dan menyebarkan kemajuan bagi warga pribumi.
Aneh benar. Tapi agaknya dia lupa, dua negara ini kemudian tak bisa melepaskan diri dari Inggris walau sudah merdeka. Mereka menjadi anggota negara Commonwealth dengan Inggris sebagai induk semang. Inggris pandai menjaga kepentingan bisnisnya.
Belanda? Negara kecil di Eropa yang hanya bisa menghasilkan keju dan mentega itu, pada saat menjajah Indonesia, sempat menjadi negara terkaya di dunia. Mereka pun meninggalkan warisan sifat demogogisch, suka berkilah, senang mempertentangkan perkara kecil dan meluputkan yang besar. Imbasnya, Belanda merupakan negara dengan jumlah partai politik terbesar di Eropa. Orang Indonesia kecipratan dan menikmati warisan tak enak ini.
Penjajah punya wajah yang tak tunggal namun selalu punya tujuan yang hanya satu: menguasai. Dia berkamuflase dan terus bermetamorfosa. Bila dulu power itu hanya senjata, maka sekarang dia datang dengan topeng ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain, yang pokoknya tampak baik-baik, lah. Ini sebenarnya peer lanjutan dari Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, yang digagas Sukarno dulu. Dulu Belanda datang kemari pun awalnya cuma bilang mau berdagang, kok.
Ingatlah, seperti ular, penjajah akan mengintai tanpa sepengetahuan si korban, kemudian membelit tanpa ampun. Dia menyiksa korbannya. Apa jadinya kalau ularnya adalah ular naga? Bayangkan siksaannya bakal seperti apa.
Nah, tingkatan tertinggi penyiksaan adalah ketika si korban sama sekali tidak tahu bahwa dia sedang disiksa. Bahkan, si korban malah tertawa. Ngeri, la. (*)