Lalu – indhie.com

Lalu

... ketika Anda dapat melihat bintang pada dasarnya Anda sedang memandang masa lalu.
ilustrasi


Nirwansyah Putra
~ indhie


STEPHEN Hawking, fisikiawan teoritis yang hebat itu pernah berujar sederhana. Ketika Anda dapat melihat sebuah bintang, maka sebenarnya Anda sedang memerhatikan masa lalu. Bacalah buku A Brief History of Time soal ini.  Oleh reviewer, buku itu disebut memakai bahasa “mudah” karena itu “bisa” dipahami oleh orang awam. Anda boleh bandingkan dengan bahasa artikel ilmiah dalam jurnal. Tapi seawam-awamnya, tetap saja sulit dipahami bagi otak saya yang cetek ini.

Di buku itu itu, dia berargumen, suatu benda dapat dilihat –katakanlah oleh mata telanjang– karena diantar oleh cahaya. Karena bintang-bintang letaknya jauh dari bumi maka ada waktu yang dibutuhkan oleh cahaya. Walau hingga kini diketahui kalau cahaya merupakan materi yang paling cepat geraknya daripada benda apapun di alam semesta, namun dibutuhkan waktu yang cukup “lama” hingga cahaya sampai ke mata kita di muka bumi.

Karena itu, apa yang kita lihat di langit pada malam hari saat ini, pada dasarnya bukanlah peristiwa yang terjadi “pada saat ini” melainkan sudah terjadi “sebelumnya” atau masa lalu.

Dengan demikian, ketika Anda dapat melihat bintang pada dasarnya Anda sedang memandang masa lalu. Begitu kata dia. Sayang, dia sudah mati.

* * *



Waktu memang kadang-kadang digambarkan begitu “mengerikan”. Saya terpaksa memakai tanda petik di situ karena selalu ada kemungkinan kalau orang lain mempunyai makna yang berbeda dengan kata ngeri. Kengeriannya terletak pada diktumnya yang “mustahil” untuk diputar kembali. Sekali Anda bertindak, maka dia sudah langsung menjadi “masa lalu” dan karena itu tidak bisa diulangi.

Kata-kata yang sering menyergap kemudian, biasanya, adalah penyesalan bila Anda merasa kalau yang dilakukan itu adalah sebuah kesalahan yang seharusnya tidak terjadi. Alhasil, karena begitu kuatnya determinasi dari sang waktu, manusia terkadang setengah mati untuk tidak berbuat kesalahan.

Tapi, terkecuali Muhammad, manusia mana pula yang pernah bebas dari kesalahan?

ilustrasi

Mungkin, permasalahan sebenarnya justru terletak pada doktrin moralitas yang memberi penilaian atas benar dan salah-nya suatu tindakan. Bila moral tidak pernah ada, lalu apa pula yang menjadi hakim atas perbuatan Anda?

Relativisme tiba-tiba memenuhi jagat. Dia punya argumen di titik itu. Di satu ruang mungkin Anda punya posisi yang salah, tapi di ruang yang lain, jangan-jangan Anda bisa dibenarkan. Siapa pula yang menyalahkan pemakaian bikini di pantai? Tapi atas dasar apa seseorang menertawakan atau menghardik seseorang yang memakai bikini di mall?

Baiklah, kita tak punya “waktu” untuk membahas hal-hal seperti itu dalam ruang yang sekecil ini. Tahun terus berganti. Itu sudah pasti. Ada sebuah kepastian, misalnya peralihan angka dari 2014, 2019 atau 2024. Bagaimana kita harus melihat pergantian itu? Apakah seperti malam tahun baru, misalnya dengan kembang api? Atau dengan gaya berpesta, seperti lazim memeringati ulang tahun kelahiran?

Namun, bukankah transisi waktu yang dirayakan dengan kembang api justru memerlihatkan kelemahan yang sangat mendasar? Kembang api akan begitu indah ketika meledak di langit-langit “tahun baru” tapi kemudian setelah itu padam, tak berbekas. Cahaya dan gelegar suaranya pun hilang; gelap dan sunyi kembali. Persis seperti petir: menggelar, terang, dan mengejutkan, tapi hanya sesaat.

“Ratusan tahun kemudian, ketika penduduk kota itu bangkit dari penyakit tidur kebodohan dan melihat fajar pengetahuan, mereka mendirikan suatu monumen di taman kota yang paling cantik dan merayakan suatu pesta setiap tahun untuk menghormati penyair itu, yang tulisannya membebaskan mereka. Oh, betapa kejam kebodohan manusia!”

(Kahlil Gibran, paragaf terakhir “Kematian Seorang Penyair adalah Hidupnya” dalam Jiwa-jiwa Memberontak [2010], terjemah Nin Bakdisoemanto)

Kita sedang ditertawakan oleh seseorang. Dari masa lalu. (*)

Leave a Reply