Secara umum, pedagang lokal dan keluarga serta pejabat kerajaan adalah yang pertama mengadopsi agama baru ini, yaitu Islam. Penyebaran Islam di antara kelas penguasa juga dilakukan dengan cara menikahi perempuan setempat, sementara pedagang besar menikahi keluarga elit penguasa. Sebagian literatur menyebut, di era ini penyebaran Islam dilakukan tidak secara otomatis cepat namun berangsur-angsur. Namun, pada abad ke-15, pertumbuhannya semakin cepat karena di wilayah pesisir Timur Indonesia, Kesultanan Malaka di Semenanjung Melayu dan kesultanan Islam lainnya mendominasi wilayah ini. Otomatis, wilayah laut menjadi di bawah kekuasaan muslim dan menjadikan wilayah ini menjadi salah satu hub penting dalam jalur perdagangan internasional ke kawasan Afrika, Timur Tengah dan wilayah China.
Sebelumnya di abad ke-14, Islam juga telah berdiri di timur laut Malaya, Brunei, Filipina barat daya hingga ke pesisir Laut Jawa. Naiknya kerajaan Islam di nusantara juga menandai kemunduran kerajaan Hindu Jawa, Majapahit, di daerah pedalaman Jawa Timur. Karena laut dikuasai kerajaan muslim, maka pedagang Muslim dari Arabia, India, Sumatra dan Semenanjung Melayu, dan juga China mulai mendominasi perdagangan regional yang pernah dikuasai perekonomian Majapahit yang sebenarnya lebih bersifat agraris.

Dinasti Ming Cina dikabarkan menjalin hubungan dengan kerajaan Malaka. Pelayaran Zheng Zheng Ming (1405-1433) diinformasikan telah memengaruhi terbentuknya pemukiman muslim China di Palembang dan pantai utara Jawa. Disebutkan, pada 1430 telah terbentuk jaringan saudagar muslim Arab, Melayu hingga China di pelabuhan utara Jawa seperti Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel. Otomatis, muslim telah menanamkan pengaruhnya yang kuat di pesisir utara Jawa. Hingga akhir abad ke-16, kerajaan muslim yang dominan selama masa ini di antaranya Samudera Pasai di Sumatera bagian utara, Kesultanan Malaka di Sumatera timur, Kesultanan Demak di Jawa Tengah, Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, dan kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di bagian timur Indonesia.
Tulisan-tulisan dari Richard C Martin dan Fred R. Von Der Mehden, menerangkan, proses asimilasi kepulauan nusantara dengan Islam dikaitkan dengan proses perdagangan, konversi kerajaan, dan penaklukan. Dengan demikian, Islam telah menggantikan Hinduisme dan Buddhisme sebagai agama yang dominan di Jawa dan Sumatra pada akhir abad ke-16.
Selama proses ini, Richard C Martin menyebut, “Pengaruh budaya dari era Hindu-Budha sebagian besar dapat ditolerir atau dimasukkan ke dalam ritual Islam.” Sementara Fred R. Von Der Mehden mengatakan, Islam tidak serta merta menghapus budaya yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, ia memasukkan dan menanamkan unsur-unsur adat dan non-Islam dalam soal hukum dan seni, dan membingkainya sebagai tradisi Islam. Sebagian kalangan menyebut, proses ini di sisi yang lainnya telah menumbuhkan apa yang disebut dengan sinkretisme Islam.
Selain itu, proses keberagamaan juga semakin mendalam. Tumbuhnya aliran-aliran sufisme waktu itu, seperti Naqshbandiyah dan Qadiriyya juga telah menarik orang-orang Indonesia yang baru pindah agama. Sufisme berkembang pesat, termasuk aliran sufi yang bersifat mistisisme. Di antara sufi Indonesia yang paling penting saat itu adalah Hamzah Fansuri, yang juga seorang penyair, dan penulis yang disebutkan wafat pada 1590. Beberapa sumber barat menyebutkan, Hamzah Fansuri merupakan salah seorang di antara sedikit orang yang mula-mula telah melakukan ibadah haji. Dia juga diinformasikan telah melakukan perjalanan dari Sumatera, semenanjung Malaya, India, Makkah-Madinah hingga Baghdad. Hamzah dikabarkan wafat di Makkah.
Dominasi Islam ini telah membuat kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha semakin menurun. Beberapa di antaranya dikabarkan mengalihkan kekuasaannya ke pulau Bali. Sebagian yang tinggal menerapkan sinkritesme Islam, artinya memeluk Islam secara formal namun masih tetap menerapkan tradisi-tradisi Hindu, Budha serta animisme dalam ritual dan keseharian mereka. Lahirnya kerajaan Islam Demak kemudian semakin meruntuhkan kerajaan-kerajaan lama di Jawa. Dakwah di kalangan masyarakat pulau Jawa kemudian diperkukuh oleh jaringan Wali Songo yang mendapat perlindungan dari kerajaan Demak.
Pada abad ke-17, Belanda memasuki kawasan nusantara dan mulai menginfiltrasi kawasan-kawasan perdagangan utama. Tak pelak, pedagang muslim lokal bergerak di pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil. Di sisi lain, hal ini mambawa dampak tersendiri bagi penyebaran Islam. Pedagang muslim lokal kemudian memasuki daerah-daerah yang lebih kecil dan terpencil sehingga kemudian membawa Islam dapat lebih masuk ke pedalaman. Hingga abad ke-20, penjajahan Belanda di kawasan nusantara yang juga sekaligus membawa agama baru yaitu Kristen, ditandai dengan perlawanan oleh umat Islam. Islam lantas dijadikan simbol perlawanan melawan kolonialisme Belanda.
Kombinasi pemikiran reformis dan tumbuhnya rasa kedaulatan telah mengarahkan perkembangan Islam sebagai wahana perjuangan politik melawan penjajahan Belanda. Salah satu contoh awal adalah gerakan Padri dari Minangkabau, yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol, yang semula ditujukan untuk pemurnian Islam di Minangkabau kemudian berubah menjadi perjuangan melawan penjajahan Belanda selama Perang Padri (1803-1837).
Meski demikian, R. Michael Feener, seorang sejarahwan spesialis Asia Tenggara dari Oxford University, dalam tulisannya Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, interaksi antara muslim nusantara dengan dunia Islam, khususnya Timur Tengah, justru semakin intens. Di Makkah , jumlah peziarah dan pelajar Indonesia tumbuh sangat tinggi. Mereka mudah dikenali karena makanannya, yaitu nasi. Bahkan ada sebutan “rice of Hijaz” yang dinisbahkan kepada pelajar dan peziarah Indonesia ini.
Pada saat bersamaan, sejumlah pemikiran dan gerakan keagamaan di dunia Islam juga telah mengilhami arus Islam di Indonesia. Secara khusus, pemikiran modernisme Islam oleh trio Jamaluddin al-Afghani dengan Pan-Islamisme-nya, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha untuk kembali ke kitab suci agama yang asli, telah memengaruhi gerakan keagamaan di Indonesia.
(bersambung…)