Islamic Golden Age, Apa Itu? – Page 2 – indhie.com

Islamic Golden Age, Apa Itu?

Ilustrasi Islamic Golden Age (foto: internet)

Alquran-Hadis Faktor Utama
Mohammad Abdus Salam, seorang fisikawan teoritis asal Pakistan yang menjadi muslim pertama di dunia yang menerima Hadiah Nobel Fisika pada 1979, menyatakan dalam bukunya Renaissance of Sciences in Islamic Countries (1994), menyatakan, ayat-ayat al-Quran dan hadis, menjadi faktor utama dalam memengaruhi umat Islam waktu itu dalam mencari pengetahuan dan pengembangan sains.

Lalu, yang menjadi pembuka awal adalah faktor penerjemahan karya-karya intelektual dari seluruh dunia ke bahasa Arab. Dinasti Umayyah yang berkuasa kurun tahun 661-750 mulai merintis jalan. Gubernur Mesir, Khalid ibn Yazid (diketahui wafat tahun 704), diketahui sangat tertarik dengan kimia dan ilmu-ilmu alam. Sekelompok penulis sejarah Islam dari University of Malaya, Malaysia, dalam artikelnya berjudul The Significance of the Bayt Al-Hikma (House of Wisdom) in Early Abbasid Caliphate (132 A.H-218 A.H), menuliskan, ketertarikan Khalid waktu itu kemungkinan besar karena hidupnya dihabiskan di Mesir di mana di sana ada perpustakaan terkenal di dunia, Perpustakaan Alexandria. Khalid kemudian memerintahkan cendekiawan Alexandrian untuk menerjemahkan buku-buku kimia dan perobatan dari Yunani atau Koptik, ke bahasa Arab. Penulis Malaysia ini kemudian mengutip sejarawan M.I al-Nadim dari bukunya ‘Iqd al-Farid (1997), yang mengatakan, buku-buku itu diperkirakan merupakan hasil kegiatan penerjemahan yang pertama kali di dunia Islam. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang ketertarikannya pada dunia sains melebihi khalifah lainnya di Dinasti Ummayah, pun memerintahkan penerjemahan buku-buku perobatan ke bahasa Arab. Tapi, semua aktivitas ini belum komplet. Dinasti Umayyah mulai mengumpulkan koleksi-koleksi ini di Damaskus, ibukota negara waktu itu, di perpustakaan negara yang disebut “Bayt al-Hikmah“.



Institusi
Di masa keemasan Islam-lah, pelembagaan hal-hal yang tampak modern sekarang dimulai. Misalnya rumah sakit. Rumah sakit di masa itu, hanya bisa diisi oleh dokter-dokter yang sudah berijazah dan tidak sekedar tabib otodidak semata. Pada abad ke-9, bahkan terjadi semacam kompetisi antara dokter dan apoteker. Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun dan al-Mu’tashim, membuat semacam ujian untuk memberi lisensi bagi apoteker. Untuk menghindari konflik antara dokter dan apoteker, para dokter dilarang memiliki toko obat-obatan. Apotik secara periodik diinspeksi oleh pengawas yang disebut “muhtasib“.

Pada abad ke-9, rumah sakit sudah tutup pada malam hari. Namun pada abad ke-10, rumah sakit sudah dibuka selama 24 jam sehari dan bahkan rumah sakit dilarang menolak pasien-pasien miskin. Lembaga wakaf diberdayakan untuk mendukung pendanaan rumah sakit dan sekolah-sekolah. Pendanaan dari wakaf ini membuat pasien rumah sakit dibebaskan dari pembiayaan. Di Mesir, pada abad ke-13, Gubernur Mesir, Al Mansur Qalawun, membuat Rumah Sakit Qalawun yang terdiri dari rumah sakit yang dilengkapi masjid, ruang rawat inap, perpustakaan untuk dokter dan apotik. Rumah sakit ini mampu menampung 8.000 orang. Adalah Mohammad Amin Rodini pada 2012, dalam tulisannya “Medical Care in Islamic Tradition During the Middle Ages” di International Journal of Medicine and Molecular Medicine, menyatakan, rumah sakit di Mesir pada waktu itu melayani 4.000 pasien setiap harinya.

Selain institusi kesehatan, masa keemasan Islam, juga mampu mendirikan lembaga pendidikan yang hingga kini masih berdiri. Misalnya, Universitas al-Qarawiyyin (al Karaouine), yang terletak di Kota Fes, Maroko, merupakan universitas pertama yang didirikan di dunia pada tahun 859. Universitas ini lebih dulu berdiri daripada Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, yang dibangun pada 970. Hebatnya, universitas di Maroko ini, didirikan oleh seorang wanita bernama Fatima Muhammad al-Fihri al-Quraysh. Hingga kini, Universitas al-Qarawiyyin masih berdiri. UNESCO memasukkannya sebagai salah satu warisan dunia.

Leave a Reply